Opini
Itikad Buruk: Ketika Etika, Jurnalistik Dikesampingkan
Opini tentang ruang redaksi media massa yang kian sesak oleh tuntutan akan kecepatan dan klik
Oleh: Herri Novealdi *)
Taksemua luka itu menyemburkan darah. Ada luka yang menganga, seperti pada peristiwa yang melanggar etika pada praktik jurnalisme kita. Kalaulah berita sengaja ditulis tanpa mempertimbangkan empati, dan nama orang diberitakan tanpa konfirmasi, jelas ada yang merasa terluka. Perihnya luka itu tidak akan terlihat di layar handphone, tapi terasa di hati mereka yang menjadi korban, teman korban, maupun keluarga besarnya.
SUATU ketika ada peristiwa yang viral di media sosial. Tak berselang lama salah satu media online memuat berita berjudul: “Gadis Cantik Tewas Mengenaskan Karena Cinta Terlarang.” Berita dimuat tanpa mempertimbangkan empati dan tanpa konfirmasi dari berbagai pihak. Berita juga tidak cover both sides, dibuat dengan nama terang, identitas lengkap, dan foto yang tanpa disensor.
Berita itu makin jadi pemicu viral di media sosial. Namun belakangan barulah diketahui ternyata sang gadis masih di bawah umur. Tak ada permintaan maaf, tanpa ada koreksi. Tapi dampak pemberitaan sudah meluas kemana-mana dan memancing beragam komentar di media sosial.
Inilah salah satu itikad buruk. Mengenyampingkan empati, mendahulukan alasan viral. Sementara pihak keluarga merasakan dampak besar akibat viralnya kejadian itu. Media itu sudah abai dengan sisi kemanusiaan.
Contoh lainnya, salah satu media online memuat berita. Judulnya: “Pembunuh Janda Malang Itu Akhirnya Mengaku Juga.” Beritanya menginformasikan seseorang diduga pelaku kejahatan seksual. Sebenarnya tidak ada kata “malang” di laporan kepolisian. Tetapi oleh media tersebut, merancang judulnya demi algoritma dan klik. Di dalam berita itu, digambarkan secara utuh identitas korban seksual dan bagaimana kejahatan seksual itu terjadi.
Berita seperti ini tentunya akan sangat menambah luka bagi korban yang seharusnya dilindungi. Dia tidak hanya menjadi korban kejahatan, tetapi juga menjadi korban dari dampak pemberitaan.
Pemberitaan dengan itikad buruk tidak hanya terjadi pada individu. Pada sejumlah peristiwa yang menimpa kelompok rentan, termasuk masyarakat adat juga bisa ditemukan. Kira-kira judul beritanya seperti ini: “Fakta Penculikan Balita yang Dijual ke Suku Anak Dalam Jambi.”
Sepintas lalu berita ini terlihat informatif. Tapi sesungguhnya mengandung bias. Identitas kesukuan justru ditonjolkan dan mengesankan bahwa hal ini merupakan representasi kesukuan itu, bukan tindakan individu. Padahal peristiwanya tak ada hubungan dengan etnis atau suku tertentu.
Narasi seperti ini bukan saja tidak sensitif, tetapi juga merendahkan kelompok tertentu. Judul beritanya memadukan fakta kriminal dengan prasangka, yang akibatnya publik memahami seolah-olah seluruh anggota komunitas memiliki kecenderungan yang sama.
Semua judul berita di atas memang tidak persis seperti kejadian sebenarnya. Akan tetapi, bisa kita temukan gambaran di beberapa media memberitakan semacam ini. Mirip dengan tiga kisah di atas. Karena di era digital, banyak media justru mengejar klik dan mengenyampingkan empati dan nilai kemanusiaan.
Saat peristiwa terjadi, yang dipertimbangkan bukannya apa dampak pemberitaan tersebut dan apa pentingnya berita itu bagi publik. Yang didahulukan oleh redaksi media massa justru karena alasan sensasi, klik, dan viral. Peristiwa justru jadi komoditas, dan etika malah dikesampingkan.
Pada titik inilah itikad buruk terjadi dan tentunya mempengaruhi kepercayaan publik kepada media massa. Lihat saja saat beberapa (tidak semua) media memberitakan kejadian sensitif semacam kekerasan seksual, kematian tragis, atau konflik politik dengan membumbui ataupun mendramatisasi derita korban atau memperkeruh situasi sosial. Banyak berita masih menyebut identitas korban asusila, memelintir konteks peristiwa, atau menulis dengan diksi yang menghakimi.
Kita juga menyaksikan bagaimana sebagian media justru menjadi megafon politik, terutama di masa pemilu. Alih-alih menjadi watchdog. Di dalam pemberitaan politik, itikad buruk hadir dalam bentuk framing, pilihan narasumber yang timpang, hingga manipulasi tajuk opini.
Perlu diketahui bahwa saat ini banyak di ruang redaksi media massa kian sesak oleh tuntutan akan kecepatan dan klik. Judul berita seringkali dibuat bukannya untuk menginformasikan sesuatu atau mengedukasi, melainkan dibuat dengan menggoda. Ada juga isi berita yang disusun bukan untuk memperjelas, tapi demi memperbanyak kunjungan ke halaman media tersebut. Saat itulah juga terdapat itikad buruk, luka etika yang menganga dalam praktik jurnalisme kita.
Dalam konteks ini, itikad buruk menjadi luka yang tak selalu terlihat, tapi dirasakan publik. Ia tidak sembuh hanya dengan permintaan maaf atau hak jawab. Sebab luka itu bukan di kulit, melainkan di kepercayaan. Apabila kepercayaan sekali rusak, sulit dipulihkan.
Etika Jurnalistik
Sebenarnya pada Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik secara tegas sudah mengatur bahwa: “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.
Penafsiran dari Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik bahwa independen yang dimaksudkan adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat yang dimaksud dalam pasal itu berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang maksudnya adalah semua pihak mendapat kesempatan setara. Sementara yang dimaksud dengan tidak beritikad buruk adalah tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Mengenai penerapan secara etis terkait “tidak beritikad buruk” pada praktiknya sering diabaikan karena cenderung dianggap abstrak dan tidak bisa diukur. Padahal, ini adalah satu esensi moral dalam praktik jurnalisme yang harus dipegang teguh.
Itikad buruk adalah persoalan niat. Apabila sedari awal berita sengaja digiring untuk tujuan tidak baik, membentuk persepsi tertentu, dan justru menutupi konteks yang penting, atau malah menuduh sesuatu tanpa dasar kuat, itulah cerminan dari itikad yang tidak baik.
Dalam konteks hukum di luar pers, seperti di pidana juga dikenal istilah itikad buruk, yang dalam praktiknya terjadi saat adanya niat menipu, menciderai, atau menyalahgunakan kepercayaan. Di dalam praktik jurnalisme memang konsep ini lebih halus, tapi tidak kalah berbahayanya.
Kerap kali munculnya itikad buruk karena adanya kepentingan bisnis, politik, ataupun idelogis di ruang redaksi dan hal itu menguasai ruang keputusan redaksional. Berita bukan penting bagi pembaca/penonton, tapi karena dianggap punya alasan lain.
Menyembuhkan luka etika dalam dunia pers bukan perkara regulasi semata, tetapi kesadaran dan niat baik. Kesadaran bahwa jurnalisme sejati lahir dari tanggung jawab moral, dan media harus kembali ke fitrahnya dalam melayani publik dengan niat baik.
Itikad baik bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar jurnalisme. Wartawan yang beritikad baik tidak berarti selalu benar, tapi selalu berusaha jujur. Ia mungkin bisa keliru, tapi tidak menipu. Ia mungkin tergesa, tapi tidak menggadaikan prinsip.
Maka, yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar revisi aturan, tetapi revolusi nurani di ruang redaksi. Setiap redaktur dan wartawan perlu kembali bertanya sebelum menekan tombol “publish”: Apakah berita ini lahir dari itikad baik? Apakah ia akan menambah terang, atau justru memperdalam luka?
Luka etika di dunia pers tidak akan sembuh oleh waktu, kecuali kita berani mengakui bahwa di balik setiap berita, ada niat. Dan hanya ketika niat itu diperbaiki, jurnalisme akan kembali menjadi jembatan antara kebenaran dan kemanusiaan.
Di tengah gempuran digital, jurnalisme Indonesia harus kembali pada ruhnya: menjadi penuntun kebenaran, bukan penggiring persepsi. Karena di setiap kata yang kita tulis, selalu ada dua kemungkinan: kita sedang menyembuhkan, atau kita sedang memperdalam luka etika yang menganga. (***)
*) Mantan jurnalis dan kini menjadi dosen di UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan Ahli Pers Dewan Pers. Semasa menjadi jurnalis pernah menjabat Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi. Kini sedang tertarik menulis tentang hukum dan etika pers, serta perkembangan media massa di era digital.
| Hari Pahlawan: Pahlawan Rimba yang Terlupakan |
|
|---|
| Kewajiban Negara Mengatur Demokrasi Parpol, Menurut Prinsip Horizontal Application of Human Rights |
|
|---|
| MOMENT: Gerakan Peningkatan Kesadaran akan Pentingnya Melawan Bahaya Eklampsia |
|
|---|
| Reshuffle, Apakah Kesejahteraan Rakyat Jadi Fokus Sejati? |
|
|---|
| Reshuffle Kabinet Prabowo: Antara Kinerja, Politik, dan “Dejokowinisasi” |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/Herri-Novealdi-mantan-jurnalis.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.