TRIBUNJAMBI.COM, MUARO JAMBI - Dari Candi Kedaton, Tur Promosi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi hari pertama, Minggu (18/5/2025), berlanjut ke Candi Koto Mahligai. Di sini, peserta tur belajar mengetahui bagaimana memulihkan candi yang telah lama terpendam.
Tangan kanan Romadhon memegang alat bangunan bernama scrap yang bergagang kayu. Perlahan ia mencongkel dan mengikis tanah dari permukaan batu bata.
Di dekat Romadhon ada dua alat lain: sendok semen dan kuas. Minggu siang itu, di Candi Koto Mahligai, ia mencontohkan cara membersihkan permukaan batu bata dari tanah yang sekian lama membekap.
Pekerja harian Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) V Wilayah Jambi ini menyebutnya sebagai bagian dari proses ekskavasi.
Secara umum, ekskavasi adalah proses penggalian tanah untuk mendata material dan struktur, dalam konteks ini adalah bangunan candi.
Baca juga: Tur Candi Muaro Jambi Seri I, Candi Kedaton Tempatnya Ibadah dan Belajar
Tahapan selanjutnya berupa restorasi. Ini pemulihan atau pemugaran bangunan candi, mulai dari pembersihan dan penataan struktur candi, penggantian material yang rusak, termasuk penataan lingkungan sekitar candi.
Memakai baju lapangan kombinasi hitam dan abu-abu, lengkap dengan rompi hijau dan helm lapangan warna kuning, Romadhon mencontohkan proses ekskavasi tadi di sepetak tanah sekitar 3 x 4 meter.
Penyelenggara Tur Promosi KCBN Muarajambi sengaja menyiapkannya agar peserta tur bisa melihat dan mengetahui bagaimana proses ekskavasi.
Tali membatasi sepetak tanah yang telah sedikit tergali itu hingga membentuk persegi panjang. Permukaan batu bata samar terlihat. Batu bata tersebut bagian dari bangunan candi yang berabad-abad tertutup tanah.
Selain 10 situs candi yang telah diekskavasi dan direstorasi, serta dua situs lain yang sedang digarap, masih banyak bangunan candi yang belum terungkap. Mereka terbenam di bawah tanah maupun tertutup tanah hingga membentuk bukit-bukit di dalam kompleks percandian Muaro Jambi.
Setelah mencongkel dan mengikis tanah, Romadhon menyingkirkan tanah dari permukaan batu bata menggunakan sendok semen. Berikutnya, ia pelan-pelan mengayun-ayunkan kuas untuk membersihkan permukaan batu bata dari sisa tanah yang masih ada.
“Kami pakai alat (ukuran) kecil-kecil seperti ini (scrap, sendok semen, kuas). Supaya tidak merusak batu batanya,” kata Romadhon saat seorang jurnalis bertanya mengapa tidak memakai alat seperti cangkul atau lainnya.
“Pelan-pelan, sedikit-sedikit, supaya permukaan batu batanya tidak hancur,” imbuh pria yang tinggal di desa tak jauh dari kawasan Candi Muaro Jambi itu, masih di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi.
Sejumlah jurnalis menyaksikan saat Romadhon mencontohkan bagaimana ia mengikis, menyingkirkan, dan membersihkan tanah dari permukaan batu bata. Ada yang mengabadikannya menjadi foto dan video.
Baca juga: Pesan Perdamaian Dunia dari Candi Muaro Jambi, Puja Bakti Umat Budha saat Waisak 2569 BE/2025
Pohon di Antara Candi
Melihat simulasi mengikis dan membersihkan tanah dari permukaan batu bata tadi menjadi bagian dari tur di Candi Koto Mahligai.
Setelah tuntas menyambangi Candi Kedaton sekaligus menyaksikan umat Budha beribadah Waisak, peserta tur melanjutkan perjalanan naik sepeda listrik ke Candi Koto Mahligai.
Dari Candi Koto Mahligai, peserta tur melewati jembatan kecil yang di bawahnya terdapat kanal kecil, lalu meluncur di jalan. Tak terlalu lama, peserta tiba di Pos Jaga, kemudian memarkir sepeda listrik.
Ada bangunan tidak terlalu besar dengan atap dan beberapa bangku. Seperti di Candi Kedaton, di sini juga terdapat kotak sampah yang di dalamnya terbagi menjadi tiga ruangan untuk tiga jenis sampah: organik, plastik, dan kaca.
Namun, sebelum masuk ke Candi Koto Mahligai, di sebuah lahan yang terhampar rerumputan dan pepohonan, peserta tur makan siang dahulu.
Menu utamanya: nasi ibad. Lalu ada puding sebagai menu pencuci mulut. Khusus kulineran, akan ada tulisan di seri lain.
Makan siang tandas, peserta tur masuk ke dalam Candi Koto Mahligai. Jika Candi Kedaton mengesankan hamparan luas dan asri, maka Candi Koto Mahligai seperti lebih “tertutup”. Hutan dan rawa mengelilingi candi seluas 110 x 90 meter persegi ini.
Ada dua bangunan candi ukuran besar sebagai bangunan utama. Di sini tempat ritual dan ibadah agama Budha pada masanya.
Lalu ada dua bangunan candi ukuran sedang dan satu bangunan candi lebih kecil, serta satu lahan tanpa bangunan candi dengan tali tambang mengelilinginya.
Di salah satu bangunan candi itulah peserta tur bertemu Romadhon, yang kemudian memberi contoh proses ekskavasi.
Di satu bangunan candi ukuran sedang, terdapat dua pohon menjulang di atasnya.
Lalu di bangunan candi ukuran sedang lainnya, di sebelahnya berdiri pohon sialang yang akar-akarnya menembus bangunan candi tersebut.
Itu pohon sialang karena biasanya terdapat sarang-sarang lebah madu yang bernama lebah madu sialang. Satu pohon sialang bisa berusia 200-an tahun.
Cara memperkirakannya adalah dengan menghitung lingkar kambium batang pohon tersebut yang berjumlah 200. Satu lingkar kambium biasanya terbentuk dalam satu musim, di mana satu musim terhitung satu tahun.
Akar-akar pohon yang menembus bangunan candi tersebut bukan dalam arti “menembus” yang sebenarnya.
Dalam proses restorasi atau pemugaran dan pemulihan menjadi bangunan candi, batu bata tersusun dengan mengikuti alur akar-akar, sehingga seolah akar-akar tersebut menembus di antara bangunan candi.
Sementara di satu lahan tanpa bangunan candi, tampak sejumlah batu bata tak beraturan. Lumut dan rerumputan tumbuh di permukaannya.
Sengaja tidak ada pemugaran di sini.
Tali tambang mengelilinginya hingga membentuk persegi panjang ukuran 2 x 3 meter. Menunjukkan bahwa demikianlah saat arkeolog menemukannya pertama kali: reruntuhan bangunan candi, batu bata berserakan, begitu saja tanpa proses ekskavasi dan restorasi.
Satu objek lain cukup menarik perhatian. Ada kaca ukuran sekitar 1 x 2 meter yang terletak di atas empat kaki besi.
Di bawahnya terdapat pecahan-pecahan genting, yang kemungkinan besar dulu merupakan genting atap dari bangunan candi. Warna hijau lumut masih tampak jelas di permukaan genting itu.
“Batu Bata Asli, Bukan Buatan”
Di dekat satu bangunan candi, berdiri Kurnia Prastowo Adi. Dia pemandu tur dari BPK V Wilayah Jambi. Dengan sabar ia menjelaskan ihwal Candi Koto Mahligai kepada peserta tur.
Kurnia mencontohkan bagaimana penemuan yang berlanjut dengan proses ekskavasi dan restorasi bangunan candi.
Di satu bangunan candi, ia bercerita bahwa dulunya itu merupakan bukit-bukit kecil yang terbentuk secara alami hingga di atasnya tumbuh pohon.
“Dulu bangunan candi itu ditinggalkan, lalu runtuh, tertutup tanah, dan di atasnya tumbuh pohon-pohon,” kata Kurnia.
“Saat ditemukan, bangunan candinya sudah hancur, tidak beraturan.”
Dalam proses ekskavasi atau penggalian tanah, arkeolog meneliti dan menemukan data terkait struktur dan material bangunan candi.
“Kami menemukan data terkait bentuk profil (bangunan candi), karena tidak hancur 100 persen,” ucap Kurnia.
Tahapan kemudian berlanjut ke restorasi atau pemugaran dan pemulihan bangunan candi.
“Kami mengembalikan sesuai kondisi aslinya. Kami tidak menggunakan batu bata baru, kami menggunakan batu bata asli dari reruntuhan,” tutur Kurnia.
Untuk pengerjaan satu bangunan candi, biasanya membutuhkan waktu 1-2 tahun.
Kurnia mencontohkan salah satu bangunan candi, mulai dari perencanaan pada 2022, kemudian proses ekskavasi hingga restorasi struktur bangunan candi termasuk pagarnya, bisa rampung pada 2024.
“Yang terlibat di Candi Koto Mahligai ini ada 150 orang pekerja. Mereka warga sekitar kawasan candi,” ujar Kurnia.
Naik Perahu Listrik
Setelah mengeksplorasi Candi Koto Mahligai, peserta tur beranjak. Tujuannya adalah sebuah dermaga.
Bukan becak atau sepeda, peserta kali ini akan menaiki perahu listrik untuk menyusuri anak sungai.
Penyelenggara tur dari Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan Kementerian Kebudayaan serta BPK V Wilayah Jambi telah memesan beberapa perahu listrik.
Satu perahu listrik berkapasitas 6-7 orang. Ada perahu listrik yang beratap, ada yang tanpa atap.
Di antara bangku-bangku tersedia teko aluminium berisi air dan gelas untuk peserta minum.
Jurnalis Tribunjambi.com menaiki sebuah perahu listrik bersama jurnalis Republika, National Geographic, Berita Harian Singapore, dan Good News for Indonesia.
Dalam perjalanan, suara perahu listrik cukup halus. Tak seperti perahu yang menggunakan mesin dan berbahan bakar solar.
Pepohonan di kanan dan kiri di tepi anak sungai mewarnai susur anak sungai. Suara burung bersahut-sahutan.
Sesekali pula berpapasan dengan perahu listrik lainnya. Dua tiga kali perahu listrik berbelok saat bertemu simpang dua maupun simpang tiga anak sungai.
Di satu alur anak sungai, pandangan terhenti pada sebuah bangunan yang melintang di atas anak sungai.
Kian dekat, kian tampak bangunan terakota dengan satu lorong sempit yang hanya muat satu perahu untuk melintas.
“Ini anggap aja kita di Venesia (Italia), ya,” kata seorang jurnalis.
“Ya ya, ala ala gondola (perahu tradisional khas Venesia) lah ya,” timpa jurnalis lainnya.
Susur anak sungai berakhir di sebuah dermaga buatan. Semacam dermaga apung yang tersusun dari rangkaian kubus berbahan plastik, dengan satu kubusnya berukuran sekitar 0,5 x 0,5 meter.
Dari dermaga, peserta tur naik ke tepi sungai. Di sini terdapat pondokan.
Penyelenggara tur mempersilakan peserta untuk coffee break: minum kopi atau teh dan mencicipi beberapa camilan.
Menjelang sore, selepas bersantai, peserta kembali ke Kota Jambi. (Yoso Muliawan)