Sidang Sengketa Pemilu 2024

Surat Megawati Soekarnoputri untuk Hakim MK Jelang Sidang Putusan PHPU Pilpres 2024

Penulis: Darwin Sijabat
Editor: Darwin Sijabat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menulis surat kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menjelang putusan terkait sengketa hasil Pilpres 2024 yang dijadwalkan 22 April mendatang.

Apa dan siapa yang salah?

Temuan terjadinya penurunan kualitas demokrasi Indonesia telah berulang kali dikaji para peneliti.

Indeks demokrasi Indonesia, menurut data Freedom House, terus menunjukkan penurunan. Demikian juga menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) berada pada peringkat ke-54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

Dengan mencermati berbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa pemilu tentu menjadi tolok ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi.

Keputusan hukum Mahkamah Konstitusi memiliki makna demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Baca juga: Sengketa Pilpres 2024 Bahas Bansos dan Hadirkan Mensos Tri Rismaharini, Pengamat: Ngeri-ngeri Sedap

Agar sumber kecurangan tersebut dapat diungkap, hakim Mahkamah Konstitusi dapat membedah sumber kegaduhan dalam kecurangan pilpres. Kecurangan pemilu sendiri tidak berlangsung tiba-tiba. Ia lahir melalui serangkaian evolusi kecurangan.

Dalil awal, pilpres dilakukan secara langsung untuk menihilkan kecurangan. Akan tetapi, kecurangan bisa terjadi di tengah lima indikator besar, yaitu (1) proses pemilu dan pluralisme politik, (2) tata kelola pemerintahan, (3) tingkat partisipasi politik masyarakat, (4) budaya politik, dan (5) kebebasan sipil.

Kompleksitas pemilu

Kesemuanya diawali dari Pemilu 1971 ketika aparatur negara, khususnya ABRI, digunakan sebagai alat elektoral dan alat represif dengan sumber daya negara yang relatif tidak terbatas.

Pertautan kepentingan geopolitik global terhadap pemilu terjadi pada pemilu tahun 1999, 2004, dan semakin menguat pada tahun 2024.

Politik bantuan sosial diterapkan secara masif pada tahun 2009 seiring dengan meningkatkan populisme. Sementara penggunaan aparat penegak hukum, termasuk TNI dan Polri, dipraktikkan pada Pemilu 2009 dan 2019.

Efektivitas penggunaan instrumen hukum semakin sempurna di Pemilu 2019 ketika jabatan Jaksa Agung RI disalahgunakan bagi kepentingan elektoral.

Mengapa evolusi kecurangan terjadi, bahkan semakin bersifat akumulatif? Sebab belum pernah tercipta efek jera sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dengan skandal Watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.

Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan Presiden. Nepotisme ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem pemilu ketika Presiden masih menjabat dan ada kepentingan subyektif bagi kerabatnya.

Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah?

Halaman
1234

Berita Terkini