TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Kabar terbaru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi ( Kemendikbudristek ) mulai menerapkan sistem Kurikulum Merdeka pada sejumlah sekolah di Tanah Air.
Kurikulum Merdeka menghilangkan sistem penjurusan di SMA, sehingga siswa dapat memilih mata pelajaran sesuai minatnya.
Plt Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek, Zulfikri Anas, mengatakan pihaknya melakukan sejumlah perubahan dalam sistem seleksi perguruan tinggi sebagai respons penerapan Kurikulum Merdeka.
"Kita juga melakukan perubahan dalam seleksi perguruan tinggi," tutur Zulfikri seusai Sosialisasi Kurikulum Merdeka di Hotel Oakwood, Jakarta, Senin (21/8/2023).
"Misalnya yang sedikit kita perhatikan yang jalur undangan itu. Pada jalur undangan dia harus memilih mata pelajaran yang sesuai jurusan yang dituju.
Kalau dulu ada IPA, IPS.
Jadi mata pelajaran yang dia pilih itu harus sesuai jurusan yang akan ditujukan di perguruan tinggi," tambah Zulfikri.
Zulfikri mencontohkan siswa yang berniat melanjutkan ke jurusan kedokteran pada perguruan tinggi, dapat memiliki mata pelajaran biologi, kimia, matematika.
Mata pelajaran ini harus sejalan dengan jurusan yang dituju pada perguruan tinggi.
"Mungkin tambahannya bagi dia mungkin ekonomi atau seni. Kenapa? Karena dokter harus punya jiwa seni dong, atau ilmu komunikasi itu dia pilih," ujar Zulfikri.
Sebagai syarat masuk jurusan yang dituju di perguruan tinggi, nilai siswa pada mata pelajaran yang sesuai dengan jurusan harus 90 hingga 100 persen.
"Misal fisika harus diatas 90 persen, kimia 90 persen. Jadi yang lain tidak harus sama," tambah Zulfikri.
Sementara untuk masuk perguruan tinggi lewat jalur tes, siswa tetap dibebaskan memilih sesuai minat.
Menurut Zulfikri, yang terpenting para siswa lulus tes masuk jurusan yang dituju pada perguruan tinggi.
"Untuk yang jalur tes bebas, yang penting dia lulus tes. Makanya sejak SMA kita dorong dia sudah mendalami bidang-bidang sesuai passion. Kalau dulu penjurusan terkotak-kotak," ujar Zulfikri.
Zulfikri Anas mengatakan sebanyak 80 persen sekolah di Indonesia sudah menerapkan Kurikulum Merdeka.
Sekolah-sekolah ini, menurut Zulfikri telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dalam pembelajaran.
Menurut Zulfikri, jenjang SMA sederajat merupakan jenjang yang paling banyak menerapkan Kurikulum Merdeka.
"Secara total hampir 80 persen. Bahkan kalau kita lihat per jenjang, untuk di sekolah SMA SMK sudah mendekati 90 persen," ujar Zulfikri.
Penerapan Kurikulum Merdeka yang masih rendah, kata Zulfikri, terdapat pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Zulfikri menduga sekolah yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka karena kurangnya sosialisasi.
"Cuma di PKBM yang rendah jumlahnya, tapi kalau rata-rata 80 persen di Indonesia dan seluruh Indonesia dan itu berdasarkan pilihan mereka," tutur Zulfikri.
Dia mengatakan masih terdapat sekolah yang belum menyadari bahwa perubahan kurikulum ini bukan sekadar perubahan nama.
Kurikulum Merdeka, menurut Zulfikri, adalah perubahan iklim pembelajaran atau transformasi pembelajaran yang lebih bersahabat dengan anak.
"Lebih dekat dengan anak, sehingga mengubah kebiasaan selama ini yang terfokus dengan materi kurikulum, sekarang berfokus ke anak," pungkas Zulfikri.
Jangan Dipaksa
Kemendikbudristek juga mengimbau Pemerintah Daerah(Pemda) agar tidak memaksakan sekolah untuk menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar.
Saat ini masih ada 20 persen sekolah yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka dalam pembelajarannya.
Menurutnya, sekolah perlu mendapatkan pemahaman yang baik mengenai Kurikulum Merdeka.
"Kita imbau kepala dinas jangan memaksa sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka, ajak mereka memahami dan memilih," ujar Zulfikri.
Dia mengatakan penerapan Kurikulum Merdeka tidak efektif jika pelaksanaannya dipaksa oleh pemerintah.
"Kalau kita yang pilih akan berbeda nanti, pelaksanaannya beda. Kalau dipaksa melaksanakannya akan terpaksa," tutur Zulfikri.
Zulfikri mengatakan Kurikulum Merdeka memberikan pembelajaran dengan cara yang berbeda-beda.
Para siswa, kata Zulfikri, dapat memilih mata pelajaran sesuai dengan minatnya.
"Sekarang para guru didorong untuk lebih memperhatikan anak, otomatis anak-anak mendapat materi, cara, dan pembelajaran berbeda-beda atau berdifetensiasi," ucap Zulfikri.
Para guru, menurut Zulfikri, harus mengubah pola pikir dalam penerapan Kurikulum Merdeka.
"Mengubah kebiasaan langsung dalam menyampaikan materi sekarang memberikan pelayanan ke anak-anak yang berbeda-beda. Itu perubahan mindset," pungkasnya. (tribun network/fah/wly)
Baca juga: TB Hasanuddin: Beli Pesawat Jangan Hanya karena Selera Pemimpin
Baca juga: Hindari Kebiasaan Buruk ini Agar Gaji Bulanan tak Cepat Habis