Berita Tanjabbar

Cerita Warga Teluk Kulbi, Pelepah Pinang Dianggap Sampah Berubah Menjadi Uang Berkat Mahasiswa Unja

Penulis: Ade Setyawati
Editor: Rian Aidilfi Afriandi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

M Ilyas, pria paruh baya di Desa Teluk Kulbi

TRIBUNJAMBI.COM, KUALATUNGKAL - Beberapa tahun terakhir harga pinang di Indonesia khususnya di Tanjabbar semakin melemah.

Hal ini membuat masyarakat khawatir dan cukup kewalahan, seperti di Desa Teluk Kulbi Kecamatan Betara Tanjabbar.

Mayoritas penghasilan utama masyarakat ialah hasil bumi atau lebih tepatnya pinang, dengan perkiraan persentase sebesar 80 persen.

Namun pada akhir tahun 2018 lalu, masyarakat kedatangan mahasiswa Universitas Jambi (Unja) yang membawa kabar gembira dengan program tahunan pengabdian desa atau Kukerta.

Pelepah pinang atau upih pinang yang awalnya hanya di anggap sebagai sampah dan tidak bernilai berkat mahasiswa Unja berhasil merubah perspektif masyarakat Desa Teluk Kulbi.

Pelepah pinang

M Ilyas, pria paruh baya di Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Betara, dirinya bersama kelompok pengrajin pelepah pinang mengatakan, sebelum mahasiswa Unja datang, masyarakat di sini menganggap pelepah pinang hanya sampah dan tidak bernilai ekonomis tinggi.

"Namun sekarang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar," jelasnya.

Beberapa utusan mahasiswa dari Unja turun ke desa dan mengolah limbah melihat potensi yang ada.

"Semenjak hari itu kami tidak ingin diam, kami sudah mendapat ilmu harus kami kembangkan bersama," tambahnya.

Dengan persentase 80 persen tanaman pinang di desa teluk kelubi, masyarakat sekitar tidak kesulitan pelepah pinang yang akan dibuat piring.

"Untuk mencari pelepah kita bersama masyarakat juga yang ingin mendapatkan uang tambahan, anak-anak sekitar yang mau bisa juga," lanjutnya.

"Untuk harga bervariasi tergantung besarnya pelepah, mulai dari 200 rupiah, hingga 400 rupiah kita beli dari warga," jelasnya.

Pengrajin pelepah pinang di Tanjabbar (TRIBUNJAMBI.COM/ADE SETIAWATI)

Pemasaran piring upih di Desa Teluk Kulbi tidak diragukan lagi, bahkan pengiriman sudah sampai mancanegara

"Untuk pemasaran kita tidak ada kendala karena memang dari awal kita bekerja dengan bumdes, kelompok tani dan rumah Jambi yg kerjasama dengan Unja," tambahnya.

Melalui kerjasama terbuat pemasaran sudah menembus mancanegara. Dikirim ke berbagai negara.

"Dikirim ke Thailand, Cina dan Bangladesh namun karena pandemi kita stop dulu, banyak kendala khususnya dalam pengiriman. Bahkan selama beberapa bulan hanya melayani pemesanan lokal seperti acara kabupaten, pameran dan Alhamdulillah sekarang sudah mulai jalan lagi dinas-dinas kabupaten, tetangga, juga mulai melirik," selanjutnya.

Namun menurut Ilyas, kendala terbesar ialah alat, dimana alat yang digunakan saat ini sudah usang dan masih manual.

"Kendala terbesar hanya alat, dimana alat kita sudah uang dan masih manual, belum lagi sebelum upih di pres harus kita lapisi aluminium foil alatnya agar tidak ada noda kotor," jelasnya.

Tidak hanya itu saja, akibat alat yang sudah usang, pihaknya menolak pesanan dari Bali karena tidak mampu memenuhi permintaan pasar.

"Kita pernah dapat pesanan dari Bali, diminta menyiapkan 4000 piring upih perbulan, kita tidak snggup karena memang alat kita tidapu, untuk alat saat ini 100-150 bisa kita produksi per hari, tapi untuk rata-ratanya 100 kita produksi per hari," tambahnya.

Ilyas juga menjelaskan jangan khawatir untuk limbah upih pinang karena baru baru ini ada perusahaan dari Bandung yang akan bekerjasama memanfaatkan upih pinang dan kulit pinang menjadi bahan olimpick yang berdaya jual tinggi.

Dalam kesempatan ini tak luput Ilyas juga menyampaikan harapannya, agar ada rekanan ataupun pemerintah terkait untuk membantu alat yang lebih baik.

Piring yang diolah dari limbah pelepah pinang (TRIBUNJAMBI.COM/ADE SETIAWATI)

"Harapan saya hanya alat yang lebih modern, agar desa ini semakin berkembang dan kalau desa ini ada alat yang lebih mendukung warga desa juga lebih sejahtera," tutupnya.

Yuswaji Kepala Desa Telukkulbi, mengatakan saat ini sejumlah upaya tengah dilakukan oleh pihaknya.
Termasuk mencari bantuan mesin cetakan massal yang harganya begitu mahal.

Ia menyebutkan mesin penekan hidrolik tersebut yang mini harganya mencapai Rp 60 jutaan.

Itupun harus sistem pesan terlebih dahulu.

"Ke PT. WKS sudah kita koordinasikan, dan PetroChina Jabung Ltd lagi proses pembuatan proposal. Kebupati proposalnya salah jadi masih proses perbaikan. Yang bisa buat itu hanya IPB (Institut Pertanian Bogor) yang hidrolik. Memang lebih cepat kita sudah survey bagus memang dan itu jika kelompok tani kita bisa punya itu, kita bisa memproduksi dan memenuhi permintaan pasar," tutupnya.

Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News

Baca juga: Inzaghi Masih Pede Dan Berupaya Mencari Resep Untuk Pecahkan Masalah Inter Milan

Baca juga: Pengrajin di Tanjabbar Tolak Pesanan 4.000 Produksi Piring Upih Per Bulan

Baca juga: Fraksi PKS DPRD Provinsi Jambi Harap Tiga Bulan ke Depan Penyerapan APBD Bisa Dimaksimalkan

Berita Terkini