Isinya: Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
"Dalam konteks ini, menjadi penting bagi kita untuk menelaah Pasal 43 Ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 dan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999," katanya kepada Kompas.com, Minggu (11/9/2022).
Pada Pemilu 2019 lalu, KPU melarang eks napi koruptor mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu.
Larangan untuk mantan napi koruptor itu diatur di PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
Namun, larangan napi korupsi mencalonkan diri di Pemilu 2019 digugat sejumlah pihak, diantaranya mantan napi korupsi.
Mahkamah Agung (MA) akhirnya membatalkan PKPU tersebut.
MA menyatakan bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu.
"Itu bertentangan dengan UU Pemilu. UU Pemilu kan membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu," kata Juru Bicara MA Suhadi kepada Kompas.com, Jumat (14/9/2018) lalu.
"Kalau PKPU kan menutup sama sekali kan. Bertentangan atau enggak itu? Ya kalau menurut MA ya bertentangan," lanjutnya.
Dari putusan MA ini, Idham bilang, menjadi satu pertimbangan KPU tak melarang napi korupsi mencalonkan diri di pemilu.
"Putusan MA adalah bersifat final dan mengikat. Kami wajib melaksanakan Putusan MA," katanya.
Pihaknya belum membuat aturan yang melarang mantan napi koruptor mencalonkan diri pada Pemilu 2024 nanti.
Idham bilang, untuk membuat aturan itu perlu revisi UU terkait.
"Sampai saat ini UU Nomor 7 Tahun 2017 khususnya Pasal 240 Ayat (1) huruf g masih berlaku," ujarnya.
Untuk calon legislatif dari mantan napi koruptor, katanya, diwajibkan mengumumkan statusnya sebagai mantan narapidana.