Memang, haji dan karet ini punya ikatan erat.
Haji Jambi bukan hanya membawa karet, tapi pada masa setelahnya karet ini pula yang membawa orang Jambi berhaji. Istilah "hujan emas" yang merujuk pada masa karet menjadi primadona, pada akhirnya turut dirasakan manisnya oleh mereka yang mengusahakan.
Ketika masa keemasan karet tiba, taraf kehidupan masyarakat Jambi meningkat. Itu terlihat dari meningkatnya jumlah pembayaran pajak bumi, jumlah orang Jambi yang naik haji dan meningkatnya jumlah impor barang ke Jambi.
Pajak pendapatan dari Pribumi pada 1920 sebanyak 31.560 gulden menjadi 43.180 gulden pada 1924.
Jumlah jemaah haji Jambi dibanding jumlah penduduk antara 1926-1935 adalah 216 per 100.000 jiwa, dan itu angka tertinggi di Indonesia.