Penyamaran memerlukan ketrampilan tinggi dan memerlukan waktu lama, tak hanya sehari dua hari.
Ini yang dilakukan intel polisi saat bertugas mengungkap kasus.
Menyamar bukan sekadar menyamar. Intelijen bahkan harus 'alih profesi' demi buruannya.
+ Ini supaya anggota intel ini tak terbaca orang-orang sekitarnya.
Ia bisa menyamar jadi profesi apa saja, tukang roti, tukang bakso, tukang cilok, bahkan hansip.
Warga yang setiap hari berinteraksi dengannya tak menyadari, ada anggota intelijen polisi di situ.
Ternyata, tukang bakso yang kerap wira-wiri mendorong gerobak di jalan itu merupakan intelijen.
Dari sekian banyak yang ada, cerita pengalaman intelijen andalan yang satu ini menyentuh hati.
Saat siang dia jualan bakso, kalau malam jual sekoteng.
Bahkan, intelijen andalan ini kadang menjadi hansip untuk menguntit dan mengumpulkan bukti tindak kejahatan.
+ Semua kasus kejahatan belum tentu terang benderang, baik pelaku maupun barang buktinya.
Semisal ada saksi yang melihat tindak kriminal tersebut dan ada barang bukti yang ditinggalkan, penyelidikan kemungkinan bisa mulus.
Berbagai upaya dilakukan polisi untuk bisa mengungkap kasus kejahatan.
Selain memeriksa tempat kejadian perkara, memeriksa saksi, dan mengumpulkan barang bukti, kadang polisi harus menyamar.
Kadang, tindakan kejahatan sangat minim barang bukti.
Di sini polisi yang bertugas di lapangan turun tangan.
+ Mereka turun ke jalan, menelusuri setiap informasi agar pelaku bisa ditangkap.
Bukan hal mudah mengungkap kasus kriminal.
Terkadang, aksi kejahatan hanya meninggalkan sedikit sekali bukti dan sangat minim kesaksian.
Karenanya, untuk menungkap kasus tak jarang polisi harus menyamar.
"Kadang mereka harus berperan sebagai pedagang bakso, nasi goreng, dan berkeliling ke pelosok kampung hingga berhari-hari," ujar AKBP M Rifai yang kala itu menjabat Kasat Reskrim Polrestabes Bandung.
Satu perwira di Satreskrim Polrestabes Bandung, Tri, sempat mengisahkan pengalamannya menangkap penjahat dengan kisah-kisah penyamarannya kepada Tribun Jabar.
"Pernah kalau siang jualan bakso, malam jualan sekoteng. Pernah juga jadi tukang becak, tukang parkir, jadi hansip pernah. Dijalani sampai berminggu-minggu," kata Tri.
Selama penyamaran, ia berinteraksi sebagaimana halnya pedagang.
Beragam penyamaran itu biasa dilakukan di tempat-tempat tidak jauh dari tempat kejadian sebuah perkara. Tujuannya untuk menggali keterangan dan mencari barang bukti.
"Karena begini, saksi di lokasi kejadian itu kadang tidak bisa dimintai keterangan jika mengaku sebagai polisi, saksi jadi bungkam atau segan. Untuk menyiasati itu, ya, nyamar," ujar Tri.
Bagi polisi seperti Tri, satu hal yang mereka yakini. Sebuah tindak pidana bagaimanapun modusnya, pasti meninggalkan jejak, sekalipun jejak itu hanya secuil. Teknik penyamaran adalah salah satu cara untuk mengungkapnya.
Pahit getir ia lakoni sebagai pemburu. Melewatkan waktu bersama keluarga hingga biaya. Namun, ia menegaskan itu bukan sebuah kendala.
"Orang lapangan kalau bisa ungkap kasus itu kepuasan tersendiri, kadang mereka tidak pikirkan hal lain selain ungkap kasus. Meski kadang keluarga jadi nomor sekian, pengeluaran pribadi hingga barang dijual untuk ungkap kasus. Tapi kalau berhasil diungkap, tentu itu hal sangat membanggakan," ujar Tri.
+ Hal sama dialami perwira pertama polisi, Rudi.
Ia sudah mengalami pahit getir hidup di jalanan memburu para pelaku kejahatan. Secara umum, ia mengalami apa yang dialami oleh Tri.
"Secara umum, anggota lapangan memang seperti itu, 24 jam bekerja di lapangan. Sering tidak pulang, kami mengumpulkan bukti demi bukti untuk membuat terang perkara. Saat perkara terungkap, tentu kebanggaan tersendiri bagi kami," ujar Rudi.
Soal penyamaran, ia sudah mahir betul bagaimana mengumpulkan keterangan demi keterangan dengan menyamar dengan beragam profesi. Umumnya, ia sudah paham dengan profesi pedagang keliling.
"Jadi pedagang sapu lidi keliling pernah. Keterangan demi keterangan kami kumpulkan, kami cari alat buktinya, dan akhirnya bisa terungkap," ujar Rudi.
M Rifai, sebagai perwira menengah lulusan Akpol 2000, sudah melewati banyak hal untuk mengungkap kejahatan.
"Kadang kami menyamar jadi tukang bakso dan pedagang lainnya. Yang bikin bahagia saat mampu ungkap pelaku, baik curat, curas, maupun curanmor," kata M Rifai.
Ia mengakui, tanpa ada anggota-anggota seperti Tri, Rudi, dan yang lainnya, pelaku kejahatan tidak akan terungkap.
"Anggota punya peranan penting dalam mengungkap kasus. Seringkali mereka tidak pulang berhari-hari untuk cari pelaku, saya apresiasi, mereka sangat berdedikasi," kata M Rifai.
+ Berubah jadi pedagang cilok
Kisah intel yang ini juga menarik. Tim Intelijen Densus 88 berusaha menangkap calon pengantin atau pelaku bom bunuh diri bernama Ali Uighur alias Abu Nash'ab alias Fariz Kusuma (27).
Penyamaran tim Densus 88 sempat menimbulkan kecurigaan sejumlah warga. Dia menyamar jadi pedagang cilok.
Selain cara berdagangnya yang tak lazim, pedagang cilok itu juga muncul beberapa hari sebelum dilakukan penangkapan Ali di rumah kontrakan yang terletak di Kampung Dukuh Jaya, RT 005/RW 009, Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, Rabu (23/12/2018) sore.
"Janggal dan ngaco banget dagangnya. Saya yakin itu intel Densus. Nah, ini buktinya setelah sudah dapat targetnya, dia nggak dagang lagi," kata Supriyadi, pemilik warung kelontong di samping kontrakan yang ditempati Alli kepada Tribunnews, Kamis (24/12) malam.
Menurut Supriyadi, si pedagang cilok menjajakan dagangan dengan gerobak.
Ia berperawakan kurus, kecil, berkulit hitam kelam dan berambut tipis. Ia juga kerap mengenakan kaos hitam lusuh.
Namun, tas selempang yang dikenakan di tubuhnya terlihat bagus dan mahal.
"Paling usianya 35 tahunan. Dari potongannya nggak kelihatan kalau dia intel," ujarnya.
Si tukang cilok tersebut juga kerap memarkir gerobak dagangannya atau mangkal tepat di depan kontrakan yang dihuni Ali selama sepekan terakhir.
Namun, ia hanya datang berjualan ciloknya satu hingga dua jam menjelang tengah malam pukul 24.00 WIB.
"Dia dagang cuma sejam dua jam. Sehabis mangkal, dia jalan ke belakang gang ini. Padahal, tengah malam di belakang warung dan kontrakan ini sudah sepi dan gelap, nggak ada orang yang beli," ungkapnya.
+ Selain itu, si tukang cilok juga kerap 'tidak nyambung' kala diajak bicara oleh warga yang membeli dagangannya.
"Saya pernah beli ciloknya Rp 2 ribu, eh malah nggak dimasukkan ke plastik. Dia bilang biar ngirit. Ngaco banget dagangnya. Eh, dia malah pernah tanya ke anak-anak di sini, 'Kok lampu kontrakan yang di atas nggak pernah hidup'. Kan aneh tuh orang, diajak ngobrol nggak nyambung malah nanya kontrakan tempatnya Ali yang ditangkap kemarin," paparnya.
"Makanya saya dan warga di sini curiga, dia intel Densus. Pernah sama anak-anak muda di sini, kita cecar dia intel bukan. Eh dia ngeles, katanya bukan, bukan," sambungnya.
Joko (51), warga yang rumahnya berhadapan dengan kontrakan yang dihuni oleh Alli justru pernah mendapati si tukang cilok tersebut membawa pistol di saku celananya.
"Bukan saya saja yang lihat, anak-anak di sini juga pernah lihat, 'Kok tukang cilok jualannya bawa pistol'. Saya sendiri lihatnya pas dia duduk di situ. Nah, pas duduk saya lihat kepala pistolnya nongol dan sedikit berkilau. Saya yakin itu FN, nggak mungkin glock," beber Ali.
Selain tukang cilok yang dicurigai, Supriyadi juga mencurigai dua pria yang mendatanginya beberapa jam sebelum Tim Densus 88 Polri melakukan penangkapan terhadap Ali pada Rabu sore.
Mulanya sekitar pukul 14.00 WIB, ada seorang pria berpakaian serba hitam dengan perawakan sedang dan kulit hitam, mendatanginya di warung. Pria tersebut mencari kamar kontrakan kosong untuk ditempati. Kontrakan yang ditunjuknya merupakan kontrakan yang sama ditempati oleh Alli.
"Jam 2, ada seorang pakai kaos hitam dan celana bahan hitam. Dia nanya, apa ada kontrakan yang kosong. Saya jawab, ada tuh di atas, dekat yang ditangkap itu," kata Supriyadi.
Namun, pada pukul 16.00 WIB, pria tersebut datang kembali bersama temannya dengan perawakan dan pakaian yang sama. Kali ini, keduanya menanyakan tempat tinggal Ketua RT. Dan Supriyadi memberitahukan nama dan tempat tinggal Ketua RT.
"Ngggak lama mereka sudah bawa Ketua RT di sini, Pak Marki, ke kontrakan ini. Lalu, nggak lama, banyak polisi pakai seragam Densus pada berdatangan dan dobrak pintu kontrakan nomor 6 di atas pakai besi. Mereka di dalam ada satu jam. Setelah itu sebagian polisi Densus itu pada turun dan bilang ke saya supaya tutup warung, katanya berbahaya. Saya tanya kasus apa, dia bilang kasus narkoba," ujarnya.
(Tribunjambi.com/sud)
Baca juga: Intel Polisi Nyamar Jadi Tukang Cilok, Jual Rp 2000 Tak Diplastikin, Warga Heran
Baca juga: Akhirnya Mama Fajar Kaget Intel Polisi Main Mobile Legend Bareng Anaknya, Baru Sadar
Baca juga: Intel Kopassus Menyamar Jadi Tukang Durian Setahun Keberadaannya Sulit Dibuktikan