Dr Terawan Dipecat IDI hingga Lengeser dari Kursi Menteri, kini Bikin Heboh dengan Vaksin Nusantara

Editor: Rohmayana
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA-- Uji coba Vaksin Nusantara itu menimbulkan pro dan kontra karena disebut belum mengantongi izin uji klinis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Sosok mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto kembali menjadi sorotan setelah sejumlah tokoh penting hingga anggota DPR RI menjadi relawan Vaksin Nusantara yang digagas olehnya.

Kritik pun berdatangan, salah satunya dari Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI)Prof Zubairi Djoerban.

Namun, tidak sedikit pula yang membela Terawan bahkan mendukung dikembangkannya vaksin buatan dalam negeri itu.

Ada pula yang menilai, kegaduhan setelah munculnya Vaksin Nusantara tidak lain hanya soal 'persaingan' dalam bisnis vaksin.

Baca juga: Digerebek Pas Lagi Kencani Istri Orang Tengah Malam, Pak RT Kaget yang Ditangkap Ternyata Wakapolsek

Nama dokter Terawan sudah mencuat sejak beberapa tahun silam.

Ia bahkan pernah diberhentikan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk sementara waktu pada 2018 silam.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dikabarkan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Kepala Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto.

Hal ini dibenarkan oleh Ketua MKEK saat itu, dr Prijo Pratomo, Sp. Rad.

Namun, dia juga menegaskan bahwa MKEK tidak mempersalahkan teknik terapi pengobatan Digital Substraction Angogram (DSA) yang dijalankan Terawan untuk mengobati stroke, melainkan kode etik yang dilanggar.

Prijo menyebut ada pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar. Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan telah mengabaikan dua pasal yakni pasal empat dan enam.

Pada pasal empat tertulis bahwa “Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”.

Baca juga: Vaksinasi Tahap II di Tanjab Timur Melebihi Target, Ibukota Kabupaten Menjadi Sasaran Tertinggi

Terawan tidak menaati itu, dan kata Prijo, Terawan mengiklankan diri. Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat serta mencederai sumpah dokter.

Sementara itu, kesalahan lain dari Terawan adalah berperilaku yang bertentangan dengan pasal enam.

Bunyinya: “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat”.

Terawan lulus gelar doktoral di Universitas Hasanudin pada tahun 2016 dengan disertasi berjudul "Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis" dengan promotor dekan FK Universitas Hasanuddin yakni Prof Irawan Yusuf, PhD.

Terawan juga pernah disebut menolak menandatangani pengadaan atau pembelian vaksin asal luar negeri sebelum dirinya 'dilengserkan' dari kursi Menteri Kesehatan.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi VI DPR yang juga Ketua DPP PKB Faisol Riza mengungkap soal informasi penolakan Menteri Kesehatan sebelumnya, Terawan Agus Putranto, menandatangani pembelian vaksin AstraZeneca.

Baca juga: Masih Menunggu Kepastian Berangkat, Puluhan Calon Jamaah Haji di Batanghari Telah Disuntik Vaksin

Faisol Riza mulanya bicara soal reshuffle Kabinet Indonesia Maju di mana Terawan pada akhirnya digantikan Budi Gunadi Sadikin.

Dia menyebut saat itu ada kegagalan dalam upaya pembelian vaksin karena Menkes sebelumnya menolak membubuhkan tanda tangan.

Hal sama juga pernah diungkapkan oleh anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, Ribka Tjibtaning yang pernah menyinggung pergantian dokter Terawan.

Dalam kesempatan menyampaikan penolakan divaksin, Ribka juga mempertanyakan pergantian menteri kesehatan Terawan Agus Putranto yang bersamaan dengan momentum pengadaan vaksin covid-19

"Dan kalau Menteri Kesehatan, saya ingin tahu politik kesehatan ke depannya apa. Atau … Menteri Kesehatan ini, Jokowi hanya untuk selama menangani vaksin, tidak, ‘kan?" tanya Ribka pada Januari 2021 lalu.

"Kontraknya gimana sama Jokowi. Jangan- jangan cuman ini untuk menyelesaikan vaksin aja. Si Terawan rada-rada bandel nih, kalau sama vaksin dia agak bandel,” ujarnya

Baca juga: Vaksin Sinovac Belum Bersertifikat WHO, Begini Nasib Jamaah Haji dan Umrah Indonesia?

Ribka heran dengan penunjukkan Budi, lantaran Budi seorang ekonom dan bankir serta berlatar belakang pendidikan fisika nuklir.

“Saya agak heran Menteri Kesehatan bukan dari dokter, padahal saya pikir-pikir, kalau secara eselon, sudah banyak nih, juga ada Prof Kadir, ada Oscar, ada Mbak Ami; di luar ada Prof Akmal, tiba-tiba yang [ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan] latar belakang ahli nuklir," katanya.

"Jokowi ini pembisiknya siapa, terakhir makin enggak jelas. Ntar disampein saja sama Pak Jokowi: ‘Mba Ning bilang begini’. ‘Mba Ning’, dia tahu.”

Lama tak terdengar usai tak lagi menjabat sebagai menteri, dokter Terawan kembali membuat heboh saat beredar kabar adanya uji coba Vaksin Nusantara.

Sejumlah tokoh jadi relawan

Sejumlah tokoh nasional turut menjadi relawan uji klinis vaksin Covid-19 Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Sebut saja Aburizal Bakrie, Gatot Nurmantyo dan masih banyak lagi.

Gatot tampak hadir untuk pengambilan sampel darah di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (14/4/2021).

Gatot mengaku Terawan menawari dirinya menjadi relawan uji klinis vaksin Nusantara.

"Begini, saya ini lahir di sini, makan di sini minum di sini, diberi ilmu dan dididik seorang prajurit di Bumi Pertiwi."

"Kemudian ada hasil karya putra Indonesia yang terbaik, kemudian uji klinik, kenapa tidak?"

"Apa pun saya lakukan untuk bangsa dan negara ini," kata Gatot di lokasi.

Baca juga: Dibully Gara-gara Salah Lirik Lagu, Iis Dahlia Bersyukur Bukan Resleting yang Terbuka

Gatot tidak mempermasalahkan meski Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum merestui vaksin Nusantara dilanjutkan ke uji klinis fase II.

Dia menegaskan akan mendukung setiap produk yang diciptakan anak bangsa.

"Saya tidak tahu ada izin atau tidak, tapi saya ditawari untuk jadi uji klinik saya siap," ucapnya.

Namun, sebagian pihak meragukan vaksin tersebut.

Salah satunya Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban.

Ia justru mencium ada sesuatu yang janggal terkait ujicoba Vaksin Nusantara tahap kedua yang tetap dilaksanakan meskipun belum mengantongi izin uji klinis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),

"Tanpa bermaksud tendensius, saya ingin pihak Vaksin Nusantara menjelaskan kepada publik, kenapa tetap ingin melaksanakan uji klinis fase dua," tulis Prof. Zubairi dikutip Warta Kota dari akun Twitternya, Rabu (14/4/2021).

"Padahal BPOM belum keluarkan izin untuk itu. Relawannya pun DPR, yang sebenarnya sudah menjalani vaksinasi kan? Ini benar-benar ganjil," imbuhnya

Prof Zubairi sendiri kurang yakin dengan penggunaan Vaksin Nusantara tersebut.

"Saya pribadi kesulitan meyakinkan diri atau percaya terhadap Vaksin Nusantara. Pasalnya uji klinis satunya juga belum meyakinkan.

BPOM menyatakan jika potensi imunogenitas vaksin ini untuk meningkatkan antibodi itu belum meyakinkan. Sehingga belum bisa ke fase selanjutnya," ungkap dia.

Terkait keganjilan yang dia rasakan, ia menilai ujicoba yang dilakukan saat ini terkesan ada unsur terlalu dipaksakan.

"Bagi saya, tidak ada yang lebih penting selain evidence based medicine (EBM). Kalau uji klinis fase dua ini dilakukan tanpa izin BPOM, rasanya kok seperti memaksakan ya. Semoga hal ini bisa dibicarakan dengan baik oleh BPOM dan pihak Vaksin Nusantara. Amin," tulisnya.

Seperti diketahui, Vaksin Nusantara, yang sampai hari ini belum mendapatkan izin uji klinis fase II dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), akan disuntikkan kepada sejumlah anggota DPR Komisi IX di RSPAD Gatot Subroto hari ini, Rabu (14/4/2021).

Terkait dengan hal ini, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, DPR harus menjelaskan ke publik dengan jelas bahwa mereka berstatus sebagai relawan uji coba vaksin, bukan penerima vaksin, karena vaksin tersebut belum memenuhi syarat.

"Saya kira harus jelas komunikasi dan informasi yang disampaikan oleh DPR. Jangan bilang bahwa mereka akan menerima vaksin Nusantara. Mereka harus tegas menyatakan bahwa mereka menjadi relawan uji coba vaksin Nusantara," kata Lucius dikutip dari Kompas.com

Menurut Lucius, tidak ada masalah bila anggota DPR berinisiatif menerima vaksin Nusantara dalam konteks uji coba selama dinyatakan secara terbuka bahwa vaksinasi yang mereka lakukan masih dalam rangkaian pengujian vaksin Nusantara.

"Dengan demikian posisi anggota DPR yang menerima vaksin hanyalah relawan yang menjadi obyek pengujian vaksin Nusantara sebagai sebuah tahapan penting sebelum vaksin Nusantara tersebut diputuskan memenuhi syarat oleh BPOM," kata dia.

Jika informasi yang disampaikan tidak jelas, dikhawatirkan akan berpotensi menyebabkan disinformasi yang membingungkan publik.

Publik dapat berprasangka bahwa vaksin Nusantara sudah dapat digunakan karena anggota DPR telah menerimanya.

Menurut Lucius, anggota DPR punya tanggung jawab moral untuk mencari jalan keluar di tengah pandemi, bukan malah menciptakan masalah baru.

"Jangan memancing kebingungan publik dengan tindakan mereka karena alih-alih menjadi pemberi solusi, mereka justru memperumit persoalan," kata Lucius.

Ia menambahkan, keterlibatan anggota DPR dalam uji klinis vaksin Nusantara juga jangan sampai menjadi perbuatan politisasi sehingga objektivitasnya dipertanyakan.

"Jangan sampai tindakan DPR menjadi sampel vaksin Nusantara menjadi bentuk intervensi kepada BPOM yang sejauh ini masih menilai vaksin Nusantara belum layak dipakai berdasarkan pertimbangan ilmiah kesehatan," ujar Lucius.

Baca juga: Vaksinasi Tahap II di Tanjab Timur Melebihi Target, Ibukota Kabupaten Menjadi Sasaran Tertinggi

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai, langkah sejumlah anggota DPR yang akan menerima vaksin Nusantara menunjukkan tidak adanya kerja sama antarlembaga dalam menangani Covid-19 di Indonesia.

Lembaga yang dimaksud yaitu DPR dan BPOM, yang alih-alih kerja sama, justru terlihat saling berkompetisi.

"Ada persoalan karut-marut di dalam penanganan Covid-19, di mana antarlembaga bukan berkolaborasi, tapi malah berkompetisi, ini yang jadi masalah," ujar Trubus kepada Kompas.com, Selasa (13/4/2021).

Trubus mengingatkan DPR dan pihak-pihak yang akan mendapatkan suntikan vaksin Nusantara bahwa jika BPOM belum mengeluarkan izin, namun suntikan sudah diberikan, maka yang menjadi pertanyaan; siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi gejala pasca vaksinasi.

"Yang menjadi rumit adalah ketika vaksin Nusantara disuntikkan, kemudian timbul masalah pasca vaksinasi, yang bertanggung jawab siapa?" ungkapnya.

Jika dinamika antarlembaga negara yang menangani Covid-19 terus terjadi seperti ini, Trubus menilai, masyarakat akan kehilangan rasa percaya kepada kedua lembaga.

"Selain itu baik DPR dan BPOM akan menjadi instansi yang lemah. Sebab munculnya public distrust akan membuat persepsi publik pada dua lembaga tidak terkontrol," ujarnya. (*)

SUMBER :  Wartakotalive 

Berita Terkini