Berita Kota Jambi

Walhi Kupas Kebakaran Berulang dan Tantangan Restorasi Gambut di Wilayah Perusahaan

Penulis: Mareza Sutan AJ
Editor: Nani Rachmaini
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kebakaran lahan gambut di Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, (6/11/2020)

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Upaya restorasi gambut di Provinsi Jambi masih harus dihadapkan dengan sejumlah tantangan.

Di antara tantangan yang harus dihadapi adalah masih terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kendati diklaim menurun drastis, kenyataannya Jambi belum benar-benar bebas dari kebakaran hutan dan lahan.

Dirreskrimsus Polda Jambi, Kombes Pol Edi Faryadi mewakili Kapolda Jambi pada 6 Desember 2020 menyebut, kebakaran hutan tahun 2020 hanya mencapai 1.000 hektare saja.

Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun 2019, yang menurut data BPBD, mencapai 11.732 hektare lahan terbakar.

Walhi Jambi mencatat lebih banyak, yakni mencapai 165.186 hektare dengan perkiraan sekitar 114.000 hektare merupakan lahan gambut.

Baca juga: Mulai Tanam 2018, Kini Kebun Melon Jenis Golden Alissa di Batanghari Hasilkan Enam Ton Sekali Panen

Baca juga: Ibu ini Kaget Saat Terima Tagihan Sekitar Rp 226 juta, Ternyata ini yang Dilakukan Anaknya

Baca juga: Kabar Gembira, 188 CPNS Tanjabtim Siap Terima Gaji

Kebakaran pada 2019 merupakan kelanjutan episode kebakaran dahsyat pada 2015 lalu.

Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Rudiansyah menilai adanya pembiaran sehingga kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi pada 2019.

Satu di antara yang menjadi sorotannya adalah PT Kaswari Unggul yang terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Kondisi kawasan lahan bekas terbakar di Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Istimewa)

Kawasan perusahaan perkebunan ini termasuk satu di antara yang terbakar pada 2015 lalu.

Atas kasus tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membayar ganti rugi dan biaya pemulihan lahan.

Perkara itu putus pada 5 Desember 2019, sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 767/PDT.G/LH/2018/PN Jkt.Sel. Dengan putusan itu, PT Kaswari Unggul (PT KU) mesti membayarkan ganti rugi dan biaya pemulihan gambut sebesar Rp 25,6 miliar kepada negara.

Sayangnya, itu tidak langsung dilakukan. Putusan PN Jakarta Selatan naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.

Pada 13 Juli 2020, sesuai dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 296/PDT/2020/PT.DKI, majelis hakim Pengadilan Tinggi menguatkan apa yang ditetapkan PN Jakarta Selatan sebelumnya, untuk membayar biaya ganti rugi dan pemulihan gambut sebesar Rp 25,6 miliar.

Kebakaran yang terjadi di PT KU ini tidak hanya terjadi pada 2015 saja. Pada kebakaran besar tahun 2019, lahan perusahaan yang berada di Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur ini kembali terbakar.

Itu juga yang melandasi Rudiansyah menyebut adanya pembiaran atau tidak adanya upaya restorasi untuk memperbaiki kondisi lahan gambut yang rusak akibat karhutla pada 2015 lalu.

Berdasarkan penelusuran ke lokasi dan keterangan masyarakat setempat, lokasi yang terbakar pada 2019 merupakan bekas lahan yang terbakar pada 2015 lalu.

"Artinya, di sini perusahaan tidak melakukan upaya restorasi terhadap areanya. Lahan yang sedang diperkarakan sebenarnya bukan menjadi alasan. Selama perusahaan memegang izin, mereka bertanggung jawab atas area yang menjadi kawasan perusahaannya, termasuk area sekitar perusahaan dengan radius yang sudah ditetapkan," kata Rudiansyah, Kamis (10/12/2020).

Kebakaran berulang, menurutnya, mengindikasikan kolaborasi pengendalian karhutla antara MPA dan pihak terkait dengan perusahaan tidak terintegrasi dengan kerja-kerja yang dilakukan perusahaan.

Perusahaan di sekitar wilayah pemukiman masyarakat harus koordinasi, kerja sama, dan kolaborasi, dalam mitigasi dan pengendalian karhutla.

"Mitigasi tidak dilakukam, baik dalam proses infrastruktur, pengendalian karhutla, termasuk deteksi sejak dini," ujar Rudiansyah.

Informasi yang diperoleh, kawasan tersebut sempat disegel pihak berwenang usai putusan PT Jakarta.

Majelis Hakim menghukum PT KU untuk membayar ganti rugi materiil dan biaya pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp. 25,6 Milyar.

Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta ini telah sesuai dengan nilai gugatan yang diajukan KLHK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebesar Rp. 25,6 Milyar.

Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Sani usai putusan tersebut menilai Majelis Hakim telah menerapkan prinsip in dubio pro natura, prinsip kehati-hatian, serta dalam mengadili perkara menggunakan beban pembuktian dengan pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability).

"Kami sangat menghargai putusan ini," kata Rasio Sani melalui rilis tertulis waktu itu.

Rasio Sani menambahkan karhutla merupakan kejahatan yang sangat serius (extra ordinary crime), berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, ekonomi, kerusakan ekosistem, pencemaran lingkungan hidup serta berdampak pada wilayah lokal, regional dan bahkan lintas batas negara (transboundary movement) dalam waktu lama.

"Penegakan hukum yang kita lakukan ini untuk melindungi hak-hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita UUD 1945," katanya.

Lanjut dia, pihaknya melakukan pelacakan jejak dan bukti karhutla melalui dukungan ahli dan teknologi yang ada.

Pihaknya tetap akan melakukan penindakan, apa lagi terhadap karhutla yang dilakukan oleh pelaku secara berulang-ulang.

"Data kami menunjukkan bahwa Karhutla di PT. Kaswari Unggul ini telah terjadi berulang-ulang. Jadi harus ditindak tegas dan dihukum seberat-beratnya," tegasnya.

* Kondisi Kebakaran di Desa Catur Rahayu

Kepala Desa Catur Rahayu, Supriyanto menceritakan bagaimana kondisi desa ketika kebakaran 2015 dan 2019.

Dia mengatakan, masyarakat setempat adalah yang paling terdampak akibat kebarakan tersebut. Dampak yang dimaksud, mulai dari kesehatan, ekonomi, hingga kerusakan lingkungan di Desa Catur Rayahu.

"Tahun 2015 itu kebakaran sampai ke lahan warga," katanya.

Kebakaran itu sampai ke lahan warga, dia menduga, karena keterlambatan penanganan. Peralatan yang masih sangat terbatas juga menjadi kendala pemadaman api.

Pada kejadian 2015, perusahaan kalap untuk memadamkan api di wilayah perkebunannya. Bahkan api sampai merambah kebun warga.

Masyarakat peduli api (MPA) bersama Manggala Agni, TNI dan Polri, serta BPBD berjibaku memadamkan api.

Empat dusun di Desa Catur Rayahu, yaitu Dusun Blok 4, Dusun Tengah, Dusun Keman, dan Dusun Keman, dikepung asap. Jarak pandang hanya tiga meter.

Sekitar 750 kepala keluarga di sana mengalami dampak. Belum lagi desa tetangga yang juga ikut merasakan dampaknya.

Tahun 2019, kendati kebakaran yang terjadi juga sangat besar, menurutnya, tidak separah yang terjadi pada 2015. Kebun-kebun masyarakat masih bisa diselamatkan.

Baca juga: Bisnis Bioskop Terpukul Akibat Pandemi, PAD di Kota Jambi 2020 Kena Dampaknya

Baca juga: Uang Donasi Pilpres Prabowo dan Sandiaga Uno Disindir, Begini Reaksi Rocky Gerung dan Refly Harun

Baca juga: Bisnis Bioskop Terpukul Akibat Pandemi, PAD di Kota Jambi 2020 Kena Dampaknya

Masyarakat ikut memotong api di perusahaan, sehingga dampaknya tidak meluas.

Dia menyebut, sebagian dana desa juga direalokasi untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan. Selain tenaga, masyarakat juga berkorban harta untuk ikut memadamkan api.

"Untuk hidupkan mesin kan, perlu bahan bakar. Waktu itu tidak sempat lagi cari-cari dana. Masyarakat ikutlah berkorban. Itu supaya kebakaran tidak meluas, supaya api cepat dipadamkan," kata dia.

Belum lagi untuk logistik para pemadam api.

Mereka memang tidak dibayar, tapi mereka butuh asupan tenaga dan kelengkapan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, masyarakat sempat memasang portal jalan agar kendaraan perusahaan tidak bisa masuk.

Saat ditanyai kepada kepala desa, hal itu dilakukan masyarakat pascakebakaran 2019 lalu.

Pasalnya, perusahaan enggan ikut sumbangsih dalam penanganan karhutla di kawasan desa waktu itu.

Namun belakangan, kata dia, perusahaan beriktikad baik dan ikut sumbangsih dalam penanganan karhutla itu.

Dari informasi sumber Tribunjambi.com, PT Kaswari Unggul memiliki 3 embung berukuran 30x30 meter. Selain itu, ada delapan unit mesin pemadam air yang dimiliki perusahaan.

* Masih Menjadi Tantangan

Kasubpokja Badan Restorasi Gambut (BRG) Wilayah Provinsi Jambi, Zulfikar mengakui penanganan gambut di kawasan perusahaan masih menjadi tantangan.

Keterabatasan wewenang menjadi satu di antara penghambat badan yang dibentuk pada 2016 ini.

Zulfikar menyebut, sejauh ini BRG hanya punya wewenang untuk melakukan supervisi di kawasan perusahaan.

Di sini, BRG menjadi rujukan untuk melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut.

"Kalau untuk penegakan hukum, itu wewenangnya di kementerian (KLHK, red)," selanya, Senin (21/12/2020).
Meski begitu, dia optimis penanganan persoalan di gambut bisa dilakukan.

Saat ini, BRG terus melakukan supervisi dan program 3R (rewetting, revegetation, dan revitalization).

Pihaknya terus melakukan pembangunan sumur bor, sekat kanal, dan melakukan pemantauan kondisi air di kawasan gambut.

Pada 2020 ini, kegiatan restorasi di Provinsi Jambi meliputi pembangunan 14 unit sekat kanal, 80 sumur bor, dan 30 paket revitalisasi ekonomi.

Selain itu, dilaksanakan juga kegiatan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur pembasahan gambut (IPG), dan pemeliharaan dengan revegetasi pada 75 hektare lahan.

Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan ini juga dibantu dengan CCTV asap yang diletakkan di sejumlah titik.

Sementara itu, berdasarkan data Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Jasmin Ragil Utomo beberapa waktu lalu, sudah ada 19 perusahaan terkait karhutla yang digugat oleh KLHK.

Rinciannya, 1 perkara telah selesai, 1 perkara sedang proses pembayaran, 7 perkara telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan nilai putusan mencapai Rp. 3,05 Trilyun, 2 perkara upaya hukum kasasi, 2 perkara upaya hukum banding, dan 6 perkara dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri.

(tribunjambi/mareza sutan)

Berita Terkini