Tim kemudian melakukan pemantauan, hingga pada 18 Juli lalu, keduanya didapati sedang melaksanakan transaksi penyerahan senjata jenis revolver.
Mereka kemudian dihadang, sementara warga yang lain melanjutkan perjalanan ke Kenyam.
"Begitu sudah pisah, ada perintah dari komandan tim [untuk] buka tembakan. Makanya dua itu langsung tewas di tempat," katanya.
"Tim kemudian melakukan pembersihan dan "dapatlah barang bukti yang dia terima dari masyarakat," lanjut Nyoman.
Barang bukti yang dimaksud adalah satu pucuk senjata jenis Revolver, ponsel milik prajurit yang diduga dirampas sebulan lalu, dua buah tas, kampak dan uang tunai senilai Rp 9,5 juta.
Akan tetapi, tudingan bahwa keduanya merupakan anggota pro-kemerdekaan, dibantah oleh juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, yang menyebut keduanya bukan anggotanya.
Ketua DPRD Nduga Ikabus Gwijangge mengatakan keduanya adalah pengungsi dari Distrik Yal yang selama beberapa waktu terakhir tinggal di ibu kota Kenyam.
Sang anak bekerja sebagai tukang sensor, atau pemotong kayu di hutan yang sering membantu masyarakat membangun rumah.
"Mereka dua ini warga sipil. Kami sebagai masyarakat Nduga dan kami sering sama-sama dengan dia, jadi saya percaya keduanya adalah warga sipil," ujarnya.
Apalagi, keduanya merupakan keluarga Sekretaris Daerah Nduga, Namia Gwijangge.
Gelombang demonstrasi tuntut keadilan
Buntut dari insiden tersebut, ratusan warga Nduga menggelar aksi di pusat kota Kerom, pada Senin (27/07/2020) lalu, dalam gelombang aksi damai menuntut keadilan atas tewasnya dua warga Nduga dalam penembakan oleh pasukan TNI pada 18 Juli.
Ini untuk kesekian kalinya warga Nduga menjadi korban dari konflik antara pasukan TNI/Polri dan TNPPB-OPM.
Merujuk data Tim Kemanusiaan sedikitnya 241 warga Nduga tewas di tengah konflik bersenjata antara pasukan gabungan TNI/Polri dan kelompok pro-kemerdekaan di Nduga, menyusul insiden penembakan sejumlah pekerja pembangunan jalan Trans Papua yang diduga dilakukan oleh TPNPB-OPM pada akhir 2018 lalu.
Masing-masing massa memegang foto para korban konflik. Keluarga Elias dan Selu turut hadir, dengan lumpur putih menutupi seluruh bagian tubuhnya.
Dalam budaya warga Nduga, ketika ada kerabat yang meninggal, mereka harus menanggalkan semua perhiasan dan tubuh mereka dilumuri lumpur putih sebagai tanda berkabung.