Sejarah Indonesia

Menguak Kebiasaan Soeharto, Seorang Presiden yang Selalu Bawa Makanan Murah Meriah Ini saat ke LN

Editor: Andreas Eko Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pak Harto

DW: Sebenarnya apa yang dilakukan Suharto untuk menangkal kelompok ekstremis?

Beberapa tokoh ekstremisme agama kembali ke Indonesia di zaman reformasi. Mungkin mereka tidak pulang jika Suharto masih jadi presiden. Aliran dana dari Timur Tengah untuk mendukung kalangan Islam yang radikal bisa diduga akan dipersulit di bawah Orde Baru. Melihat hubungan antaragama, Orde Baru cukup berhasil. Dan hal itu tidak lepas dari figur Suharto sendiri sebagai orang Jawa yang berkiblat pada budaya priyayi yang diwarnai oleh sinkretisme agama yang toleran dan tidak dogmatis.

Suharto sendiri memberi contoh yang baik, sebagai tokoh yang terkenal dekat dengan kebatinan. Dan, dalam hal lain juga kelihatan jenis toleransi yang penting: Dalam kabinet Suharto ada menteri yang "gay", dan semua orang tahu, juga publik yang tahu. Sepertinya, itu tidak mungkin lagi terjadidi Indonesia sekarang.

DW: Meski Anda cukup dekat dengan Suharto, pasti ada yang Anda tak setuju dari Suharto, apa sajakah itu?

Cukup dekat dalam arti ada rasa simpati kepadanya sebagai manusia. Dan tentu, banyak sekali yang tidak dapat saya setujui sebagai orang yang besar dalam suasana demokratis, di sebuah negara yang sangat menghormati hak-hak asasi manusia, termasuk hak individual dan hak politik. Suharto bukan demokrat sejati, ia lebih mirip otokrat yang feodal, ya, sejenis raja Jawa yang modern. Dari segi demokrasi sejati tentu patut ditolak. Tapi, ya, Indonesia punya sejarah budaya yang berbeda, unsur feodal masih kuat.

Dan, menurut kesan saya, sang “Raja Jawa” itu seorang nasionalis yang berupaya untuk berbuat yang terbaik bagi bangsanya, atau -paling sedikit- yang dianggapnya sebagai hal terbaik. Termasuk untuk rakyat kecil. Nasib petani banyak ia pikirkan, ia sendiri berasal dari kalangan itu. Dan, Suharto selama masa pemerintahan cukup populer di kalangan rakyat. Hasil pemilihan umum di bawah Orde Baru memungkinkan kesimpulan demikian.

DW: Namun ditengarai ada kecurangan?

Saya kira, sejauh ada permainan curang untuk menghasilkan hasil pemilu yang "baik", pada dasarnya ada kemungkinan rakyat Indonesia untuk tidak memilihnya. Saya kira dalam pemilihan sebebas-bebasnya pun Suharto masih akan didukung oleh mayoritas pada waktu itu, karena mereka merasakan keadaan ekonomi dan lain sebagainya berkembang ke arah positif.

DW: Meski demikian, tetap saja pada tahun 1998 ada desakan untuk mengundurkan diri?

Ya, di tengah krisis ekonomi pada tahun itu, kepercayaan masyarakat kepada Suharto sangat menurun. Tapi, justru dalam keadaan ituia membuktikan rasa kebangsaan, nasionalismenya. Dalam waktu yang cukup singkat ia bersedia menyerah, mengundurkan diri.

Menurut saya, itu bisa dinilai sebagai tindakan yang sangat bertanggung jawab. Bisa saja, ia ngotot, dan berupaya untuk tetap berkuasa. Dukungan dari berbagai kalangan, termasuk kalangan ABRI, masih ada. Bisa terjadi perang saudara atau paling sedikit kekacauan yang luar biasa. Hal itu tidak diinginkannya. Ia telah bertindak secara arif. Banyak penguasa lain tidak bersikap seperti Suharto pada waktu itu.

DW: Masih adakah yang menjadi tanda tanya Anda atas sosok Suharto?

Ya, ada. Bukan saja tanda tanya tapi sebuah masalah besar. Perihal penumpasan komunisme pada tahun 1965/66. Peristiwa yang mengakibatkan pembunuhan begitu banyak manusia yang tidak bersalah. Saya ingin tahu yang Suharto rasakan saat itu. Sejauh mana ia ketahui secara persis yang sesungguhnya terjadi di seluruh Indonesia. Sejauh mana ia sadari betapa ganas dan kejam kejadian itu.

Mengapa ia membiarkan semua itu terjadi selama berbulan-bulan. Ingin bertanya kepadanya: apakah tidak ada jalan lain? Haruskah sebrutal ini? Apakah saat itu ia merasa bahwa bangsa Indonesia sebegitu terancam oleh komunisme/marxisme? Apakah ia sempat merasa bersalah?

DW: Apa pesan Anda pada Suharto, andai saja ia masih hidup?

Halaman
1234

Berita Terkini