Saya kenal beberapa orang kaya di Jakarta, dibandingkan rumah mereka rumah Pak Harto cukup sederhana. Tidak terlalu besar. Walaupun saya hanya sempat melihat ruang tamu, ruang untuk pembicaraan. Kesan kemewahan tidak terlalu besar. Pernah ke Jalan Cendana?
DW: Belum, makanya saya tanya kepada Anda….
Rumah presiden Indonesia kelihatan sederhana dan tidak terlalu mewah. Tentu ruangan cukup bagus. Ada suasana Jawa di rumah itu, ada patung Garuda, ada keris, tentu hal itu sudah bisa diduga yang lucu justru seorang pembantu Pak Harto yang saya ketemu sebelum masuk. Saya bertanya, bagaimana rasanya menjadi pembantu Pak Harto?
Orangnya menjawab, wah itu susah juga. Bapak itu aneh. Ada kamar kerjanya yang atapnya bocor, dan air hujan masuk ke situ. Kami ingin memperbaiki semuanya, tapi Bapak itu tidak mau, terpaksa kami pasang ember-ember di situ, untuk menampung air bocor. Kemudian si pembantu cerita, akhirnya mereka berhasil merenovasi kamar dan atap itu. Mereka melakukannya secara diam-diam, saat Soeharto mengadakan kunjungan dinas ke luar negeri.
DW: Setelah Suharto tak lagi berkuasa, Anda kan masih sempat ketemu dengan dia lagi, sempat mengobrol apa saja dan apa perasaan Anda yang paling mendalam setelah Suharto tidak menjabat lagi sebagai presiden?
Saya masih sempat bertemu, kalau tidak salah bulan Juli tahun 1998. Kami berbicara sejam dan saya bertanya bagaimana perasaan beliau setelah terpaksa mengundurkan diri? Tapi yang saya ingat biasa saja. Ia tidak cenderung terbuka pada orang lain, mungkin jika ke anak istri berbeda. Jadi, dia tidak mau menyampaikan apa yang dia rasakan.
Saya ingat, saya bertanya tentang anak buahnya. Bagaimana kesan beliau tentang Habibie. Waktu itu dia agak serius. Mukanya kelihatan berubah dan cuma (jawab) satu kalimat: ‘Habibie membiarkan saya dihujat’.
DW: Anda juga sempat bertanya tentang keluarganya?
Pembicaraan berlanjut dan saya dengan kenekatan besar berani bertanya tentang anaknya Pak Harto. Ingin tahu sebenarnya. Apa sikapnya terhadap posisi anak-anak dalam masyarakat. Kira-kira saya bertanya mengapa Pak Harto begitu mendukung putra dan putrinya untuk meraih posisi yang tinggi di Indonesia. Anaknya Mbak Tutut sempat menjadi menteri sosial. Ditanya mengenai anak-anaknya, dia merasa ada kritik dalam pertanyaan saya dan dia menjawab dalam satu kalimat: ‘Mereka pengusaha kok‘.
Setelah itu suasana berubah, tidak sesantai dulu. Kesan saya, dia kecewa karena saya berani bertanya mengenai hal-hal seperti itu dan itu pembicaraan kami yang terakhir. Kemudian saya tidak lagi diundang ke Cendana. Biasanya kalau saya ke Indonesia saya beritahu kepada sekretarisnya bahwa saya sudah tiba di Indonesia. Sering satu dua hari setelah saya beritahu, ada undangan. Tapi ya itu, setelah pembicaraan terakhir itu, tidak terjadi lagi. Kesan saya Pak Harto sangat peka dan menganggap pertanyaan ke arah itu sebagai sebuah kekurangajaran. Sayang sekali karena saya ingin tahu apa yang melatari sikapnya yang sangat mendukung anak-anaknya dalam masyarakat Indonesia.
DW: Bagaimana dengan putra-putrinya, apakah akan menjadi klan Cendana baru?
Sejauh saya amati peluang mereka tidak begitu besar. Kemungkinnya kecil. Saya rasa didukung oleh partai besar saja, cukup sulit. Perkiraan saya, itu mustahil. Mereka juga bukan tokoh-tokoh yang diperlukan bangsa Indonesia sekarang. Saya kira upaya itu, kalau memang ada, tidak akan berhasil.
DW: Banyak kritik selama ini atas kepemimpinan Suharto yang dinilai ‘bertangan besi`, bagaimana pandangan terhadapnya di Jerman dan Anda sendiri?
Penilaian di Jerman terhadap Suharto rata-rata negatif, terutama di kalangan saya sendiri, Indonesianis, sangat negatif. Orde Baru disebut diktator militer. Rakyat Indonesia seolah-olah sangat menderita di bawah pemerintahannya, terutama terkait peristiwa 1965 (G30S) dan penumpasan komunisme, soal Timor-Timur dan Aceh. Soeharto dinilai sebagai orang yang begitu kejam, tidak menghargai HAM, dan juga sebagai koruptor.
Kadang sulit juga bagi saya untuk menyampaikan kepada mahasiswa (di Jerman, ed: Damshäuser adalah dosen di Universitas Bonn, Jerman) sebuah gambaran yang lebih objektif. Kalau kita melihat Orde Baru, perkembangan ekonomi cukup positif. Jumlah orang di bawah kemiskinan berkurang dan ada swasembada beras, dan sebagainya. Terutama ada juga stabilitas. Stabilitas baru kita hargai, jika stabilitas terganggu. Stabilitas di Indonesia bisa dibilang stabil dalam tiga dasawarsa. Itu juga sesuatu. Selama 30 tahun, ekstremisme agama tidak kelihatan. Sebernarnya dari berbagai segi, suasana di Indonesia ketika itu jauh lebih menyenangkan.