Human Interest Story

Pandemi, Bersesandingon, dan Cerita Hari Pendidikan dari Sudut Anak Rimba di Jambi

Penulis: Mareza Sutan AJ
Editor: Teguh Suprayitno
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Orang Rimba Jambi.

TRIBUNNAMBI.COM, JAMBI - "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan." Demikian yang tertuang di Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Tidak terkecuali untuk anak-anak rimba yang berada di Jambi, sebagaimana secarik kisah Hari Pendidikan di rimba yang Tribunjambi.com rangkum.

Anak-anak rimba dari Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi pada umumnya adalah anak-anak yang haus akan ilmu dan pendidikan. Mereka punya semangat yang kuat untuk belajar. Bahkan, mereka tidak pernah peduli waktu, jika memang sudah sangat ingin belajar.

Cerita itu disampaikan Sukmareni, Koordinator Divisi Komunikasi KKI Warsi yang cukup lama mendampingi anak-anak rimba di Jambi. Katanya, anak-anak rimba tidak pernah mematok jam berapa harus belajar.

"Mereka cuma butuh waktu tidur yang sedikit. Jadi kadang kalau bangun tidur dan mau belajar, mereka bangunkan para pendamping, minta diajari," ujar Reni menceritakan yang pernah dialaminya di Bukit Dua Belas, sebuah sudut rimba di Kabupaten Sarolangun, Sabtu (2/5/2020).

Buka Satu Gelombang, SMA Xaverius 1 Tutup Pendaftaran Siswa Baru Sejak Februari

Daftar 10 Negara Dengan Kasus Virus Corona Terbanyak, Amerika Serikat di Urutan Tertinggi

Cegah Penyebaran Corona, 100 Bus AKAP yang Memasuki Wilayah Jambi Diminta Putar Balik

Berbeda dengan anak-anak pada umumnya yang belajar di kelas, mereka biasanya belajar secara berkelompok, sekitar lima orang di pondok-pondok yang ada di hutan atau sekitaran kebun sawit masyarakat.

Bagaimanapun, anak-anak rimba butuh ilmu. Mereka ingin belajar. Namun, pada saat pandemi seperti ini, ada ketakutan yang dirasakan orang-orang rimba. Mereka berusaha melindungi diri dari wabah, dan mengasingkan diri ke hutan.

Suku rimba biasa menyebut itu bersesandingon. Orang-orang rimba akan mengasingkan diri ke hutan, memisahkan diri dari kerumunan orang banyak, dan menjauh dari keramaian. Tujuannya, agar wabah tidak menyebar, agar mereka tidak terkena wabah.

"Mereka takut dengan wabah, karena menurut mereka, wabah itu bisa menyerang siapa saja. Jadi, kabar pandemi Covid-19 ini sudah sampai ke mereka. Makanya mereka bersesandingon, itu cara mereka melindungi diri," terang Reni.

Jika mereka mengasingkan diri, bagaimana proses belajar mengajar bersama anak rimba?

Tidak ada kelas online di kalangan anak-anak rimba. Tidak ada internet di hutan. Bagi mereka, sekolah ya bertatap muka langsung. Sejak adanya pandemi corona virus disease, sekolah sempat terhenti.

Mereka takut terjangkit wabah. Alhasil, pendamping dan fasilitator tidak boleh pulang, tetap di rimba, memilih ikut tradisi sesandingon. Setelah yakin guru-gurunya sehat, anak-anak rimba kembali bersemangat belajar, kembali menerima pelajaran. Tapi ada yang beda, sebab mereka tetap memperhatikan jarak dan standar kesehatan.

Bukan cuma itu, karena bersesandingon, kelompok-kelompok suku rimba berpencar. Misalnya pondok ke pondok jaraknya kini sekitar 1 kilometer.

Reni menceritakan, pendamping dan fasilitator harus menempuh jarak dari rumah ke rumah, pondok ke pondok. Mereka lalu mengajar di sana, memberikan bimbingan bagi para orang tua, dan sesekali mengecek kesehatan mereka.

Ini yang Dilakukan Pemerintah Agar Masyarakat dan Dunia Usaha Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19

Berbagi Saat Puasa, GP Ansor Bagikan Paket Makanan untuk Berbuka di Merangin

Tidak ada kerumunan, karena memang kelompok belajar itu paling banyak diikuti enam orang. Pelajaran pun kini dititik beratkan pada kebersihan dan kesehatan. Reni bilang, mereka butuh pencerahan agar tidak takut berlebihan menghadapi pandemi ini.

Cara menghadapinya pun berbeda. Menurutnya, orang-orang rimba yang berada di dalam hutan cenderung lebih aman. Mereka juga lebih mudah mencari makanan di hutan.

Halaman
12

Berita Terkini