Refly menyampaikan kritikannya saat menjadi narasumber acara Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Rabu (25/9/2019).
Refly juga menyinggung soal tugas dan kewenangan Presiden.
Dia menyebut, dalam desain konstitusional Indonesia, Presiden memiliki 50 persen kekuasan legislatif.
Artinya tidak ada satu RUU yang bisa lolos, kalau Presiden mengatakan tidak.
"Tidaknya Presiden itu banyak sekali tempatnya. Tidak untuk membahas, tidak untuk persetujuan, dan tidak untuk mengesahkan," ujarnya
"Kalau tidak untuk mengesahkan tidak ada gunanya karena 30 hari akan sah dan wajib diundangkan. Tapi tidak persetujuan paripurna, itu membuat RUU tidak bisa diundangkan, dan lebih pangkal lagi tidak untuk membahasnya,"jelasnya.
Refly menyebut kesalahan fatal pemerintah adalah ketika UU KPK itu disetujui.
Menurutnya dalam UU KPK ada dua soal yang bermasalah yaitu prosedur dan substansinya.
Refly menerangkan, prosedur dalam UU KPK yang sudah disetujui pemerintah, membuat operasi tangkap tangan dari KPK tidak akan lagi terlaksana.
"Kalau kita mengikuti prosedur maka tidak adalagi operasi tangkap tangan, dan itu kecerobohan yang luar biasa," tegasnya di depan pembawa acara Aiman Witjaksono.
Refly kemudian mengungkap sisi lain kelemahan dari UU KPK dalam pasal 12 B.
Isi pasal tersebut menjelaskan soal penyadapan yang harus ada izin dari dewan pengawas.
Refly menyebut pengertian pasal tersebut jangan hanya di mengerti sampai disitu saja.
"Coba baca penjelasannya, izin penyadapan diberikan setelah dilakukan gelar perkara di depan dewan pengawasan," ungkapnya
"Bagaimana mungkin kita mengott seseorang, kalau sebelum OTT kita harus melaksanakan gelar perkara. Karena kalau kita mengott orang tanpa sadapan, kita kan nda tau konteksnya seperti apa," jelasnya