Dalam salah satu ceramahnya yang kini viral di media sosial, Emha Ainun Najib alias Cak Nun menguak kasus penculikan aktivis di tahun 1998.
Secara khusus, Cak Nun mengungkapkan kesatuan-kesatuan dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kala itu, dan kini jadi TNI, memang diperintahkan untuk menculik aktivis.
Namun, perintahnya bukan hanya menculik, tapi melenyapkan sejumlah orang yang dijadikan sebagai sasaran penculikan tersebut.
Menurut Cak Nun, selain kesatuan yang di bawah Prabowo Subianto, ada sejumlah kesatuan lainnya ABRI, yang bertugas mengambil orang-orang yang sudah dianggap sebagai orang berbahaya.
"Jadi, salahnya Prabowo Subianto itu, yang diculik tidak dipateni, kalau dipateni seperti yang lainnya, tidak ada persoalan," katanya dalam satu acara.
Prabowo Subianto itu salah satu yang diperintah untuk mengantisipasi oleh kelompok-kelompok aktivis.
"Memang diculik, tapi ora dipateni, kalau dipateni ora onok masalah," katanya.
Jadi, ada beberapa kesatuan yang diperintah untuk menculik dan memusnahkan.
"Salahnya Prabowo Subianto yang diculik tidak dimusnahkan, makanya Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, itu berterima kasih kepada Prabowo Subianto dan sekarang masuk Gerindra," katanya.
Peristiwa penculikan memang terus menjadi kontroversi berkepanjangan dan nyaris selalu diangkat, khususnya saat Prabowo Subianto maju untuk bertarung menjadi calon presiden (capres).
Terkait kasus penculikan itu, sejumlah fakta memang terkuak di antaranya dari sejumlah korban penculikan yang ternyata tidak dihabisi, khususnya di pasukan Prabowo Subianto tersebut.
Akhirnya, Prabowo Subianto dijadikan sebagai orang yang dianggap sebagai dalang penculikan dan penghilangan paksa orang-orang yang terjadi di tahun 1997 tersebut.
Peristiwa penculikan dan gelombang demonstrasi yang melanda tersebut juga menjadi kasus yang dikaitkan dengan peristiwa penculikan aktivis.
Sementara itu, kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa orang di tahun 1997 juga berimbas pada sejumlah nama jenderal.
Ada di antara sejumlah jenderal setelah kejatuhan Orde Baru (Orba) tidak bisa bertandang ke luar negeri.