"Untuk apa bapak pulang? Lebih baik keluarga diajak ke sini," ujarnya menirukan saat diminta segera mengajak keluarganya.
"Makanya anak istri saya ajak, untuk nunggu saya."
Ia melanjutkan, saat itu pelantikan diundur pada Jumat, namun ia tak mendapati jawaban pasti hingga akhirnya bukan dirinya yang dilantik
"Kamis tidak jadi pelantikan, jadinya jumat. Jumat saat itu saya telepon (kantor), enggak diangkat, akhirnya ada pegawai yang menjawab 'ya mungkin nanti pak tunggu aja nanti ada pelantikan'."
"Singkat cerita saya tidak jadi dilantik, dan tidak diundang," jelasnya.
"Maka betapa malunya, saya guru besar mendapat perlakuan seperti itu," kata Mudjia.
Permasalahan Inti
Ia menegaskan, persoalan inti yang ingin disampaikan, ada pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015.
"Saya ingin menyumbang persoalan inti ini adalah PMA 68, PMA 68 ini tidak memberikan kekuasaan kepada senat sebagai institusi tertinggi di setiap perguruan tinggi."
"Senat itu anggotanya guru besar, dan kita tahu guru besar ini tidak mudah diperoleh, jadi guru besar ini tak ada artinya."
Ia pun menjelaskan saat adanya PMA 68, sempat ada penolakan darinya namun keputusan itu tetap terlaksana dengan rayuan bahwa suara tetaplah kampus yang memegang.
Tetapi ternyata hal itu tak berlaku.
"Jadi sesungguhnya rapat senat tidak ada gunanya, rapat pansel tidak ada gunanya, maka kita 4 bulan itu sia-sia."
Ia juga mengatakan menyadari perubahan pada Kemenag saat itu yakni Lukman Hakim.
"Karena itu saya usul pada Pak menteri agama, karena setahu saya pak menteri agama itu mudah diajak bicara ya."
"Tetapi ketika masuk PMA 68 ini begitu sulit ya, saya ingin sekali persoalan ini segera selesai, kita membahas persoalan yang lebih substansif ya, untuk bangsa dan negara," pungkasnya. (Tribunjambi.com/Suci)
Sumber : TribunWow, Sumber Lain, Youtube