Ia menyatakan, apa yang dilakukan perusahaan penerbangan itu memang masih dalam koridor wajar dan tidak menyalahi aturan yakni termaktub dalam Permenhub Nomor 14 Tahun 2016.
Namun, langkah yang dipilih maskapai ini menimbulkan efek domino dan berkepanjangan.
Hingga kini terkait harga tiket pesawat yang dinilai masih mahal dibahasan.
"Lion Air Grup selain memainkan dynamic pricing, juga memainkan bagasi berbayar. Itu yang jadi runyam, jadi seolah-olah masyarakat kena dua "rudal", rudal tarif dan rudal bagasi. Jadi rame karena beban masyarakat ada dua," bebernya.
Menurutnya, manajemen maskapai penerbangan mengambil keputusan itu karena karena alasan keuangan.
Sebab, sejak dua sampai tiga tahun terakhir kinerja mereka terbilang buruk.
Salah satu cara memperbaikinya ialah menerapkan pola dynamic pricing tersebut.
"Memang rapot keuangan maskapai itu jeblok. Supaya bisnis maskapai ini tidak perang harga, jadi mempertahankan bisnis secara sustainable," tambahnya.
Besarnya market share kedua maskapai ini memberikan dampak besar ke dunia penerbangan Tanah Air, atas kebijakan yang diambil.
Hingga akhirnya polemik soal tarif atau harfa tiket masih hangat dibicarakan.
Tahu dari Pemberitaan, Dinsos Muarojambi, Usahakan Kaki Palsu Untuk Harmoko
Dipukul Hingga Celana Melorot Oleh Orang tak Dikenal, Suprapti Hanya Bisa Pasrah
Pesawat Lion Air Turbulensi, Penumpang Histeris. Ini yang Harus Dilakukan Penumpang Saat Turbulensi
"Lion Air Group menguasai 55 persen market share di Indonesia. Garuda Indonesia market share-nya 40 persen.
Jadi hampir 95 persen naik. Jadi kesannya seperti janjian naik, itu berdampak kepada masyarakat," lanjutnya.
"Pilihannya tinggal maskapai kecil-kecil, seperti AirAsia, XpressAir, TriganaAir, dan lainnya," sebut dia.
Petisi online
Harga tiket pesawat domestik yang tinggi menjadi perbincangan.