TRIBUNJAMBI.COM- Tahun baru imlek dilaksanakan pada 5 Februari 2019.
Banyak Mitos dan misteri yang belum terungkap.
Soal memasak Kue rantang, kenapa saat Imlek selalu hujan dan satu lagi yaitu kenapa saat imlek harus menggunakan baju warna merah dan ada yang membudayakan menghidupkan mercon
Menggunakan baju merah saat imlek, bagi warga Tionghoa adalah hal yang lumrah.
Ada yang mengatakan menggunakan baju merah adalah lambang kebahagiaan, sementara menggunakan baju putih lambang berduka cita.
Nah di samping itu semua ternyata ada sejarah tersendiri kenapa harus menggunakan baju berwarna merah saat Imlek.
Lalu menghidupkan mercon saat Imlek bukan hanya itu suka cita ternyata punya makna lain.
Dikutip dari laman Historia.id disebutkan berdasarkan mitos ada istilah Raksasa bernama Nian.
Ia muncul dari pegunungan –ada juga yang menyebutkan dari dasar laut– setiap kali musim dingin berakhir dan melahap apa saja yang djumpainya.
Hasil panen, hewan ternak, hingga manusia ludes. Agar selamat, setiap kali musim semi tiba, penduduk menaruh sesaji di depan pintu rumah untuk Nian.
Baca: Kisah Nyata Raja Copet Jakarta, Jam Kerja Teratur dan Larangan Tak Boleh Nyopet Orang Tertentu
Baca: Tahun Baru Imlek, Ada Delapan Pantangan, DIantaranya Tak Boleh Bersih-Bersih dan Tak Boleh Nyanyi
Baca: Ingat Sosok Nyawer Pelakor si Bu Dendy? Jualan Jajanan Rp 1000 Pakai Mobil Seharga 3 New Avanza
Prosesi itu tak berlanjut setelah penduduk menjumpai Nian lari ketakutan saat bertemu seorang bocah berpakaian merah.
Penduduk berkesimpulan, Nian takut warna merah.
Maka saat itu disimpulkan menggunakan serba merah adalah untuk mengusir raksasa.
lalu Mitos lain menyebutkan Nian mucul saat ladang bulu (bambu) milik penduduk terbakar dan menimbulkan bunyi letusan keras.
Nian sang raksasa ketakutan, lari tunggang-langgang dan tak pernah kembali lagi.
Setiap awal musim semi tiba, penduduk pun menyulutkan mercon.
Sejarah Imlek di Indonesia
Mengapa perayaan ini disebut “ imlek” dilansir dari serambinews.com dari tribuntravel.cm disebutkan
Kepala Kajian dan Riset Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina) Aji Bromokusumo menyebut,
“imlek” lahir melalui proses serapan penduduk Nusantara terhadap istilah Hokkian, “yin li”.
“Imlek berasal dari kata yin li, artinya lunar calendar. Jadi tahun baru China itu sama dengan tahun baru Islam karena dihitung berdasarkan peredaran bulan,” ucap Aji kepada KompasTravel di Restoran Lei Lo, bilangan Senopati pada Kamis (31/1/2019).
Usut-punya usut, sebutan “imlek” ternyata hanya bisa ditemui di Indonesia.
Bahkan, di China sendiri, istilah untuk perayaan ini disebut sebagai “chunjie” yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai festival menyambut musim semi.
Baca: Ingat Sosok Nyawer Pelakor si Bu Dendy? Jualan Jajanan Rp 1000 Pakai Mobil Seharga 3 New Avanza
Baca: Perbedan Yamaha MT-15 Tunggangan Rossi di Indonesia dengan Xabre, Simak Spesifikasi Komplitnya
Baca: Hari Raya Imlek, Para Pengemis Ini Menunggu Angpao Didepan Vihara, Segini yang Bisa Didapatkan
“Kalau di Indonesia disebut demikian jadi aneh, karena Indonesia tidak punya musim semi,” tambahnya.
Di samping itu, beberapa kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia pun kerap menyebut Tahun Baru Imlek sebagai “sincia”.
Penyebutan tersebut sama-sama diserap dari dialek Hokkian untuk menyebut “xin zheng” yang dibaca “sin ceng”.
Di tempat terpisah, masih menurut Aji, istilah “xin zheng” merupakan singkatan dari istilah “xin zheng yue” yang berarti “bulan pertama yang baru”.
Istilah “zheng yue” sendiri, yang berarti “bulan pertama”, jika diucapkan dalam dialek Hokkian akan berbunyi “cia gwe”.
Maka, penyebutan “sincia” merupakan pelafalan ringkas alias kependekan dari istilah-istilah tadi.