Terungkap! Ini Rahasia Dibalik Peci Miring Soekarno yang Tak Banyak Diketahui Publik Hingga Kini

Penulis: Andreas Eko Prasetyo
Editor: Andreas Eko Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Soekarno

TRIBUNJAMBI.COM - Cerita akan Presiden RI pertama pastinya sudah sering diulik dalam sebuah buku.

Bahkan dalam cerita sejarah di saat kita menduduki bangku sekolah.

Ir Soekarno merupakan sosok pemberani dan disebut 'Sang Fajar' serta bapak Proklamasi untuk Indonesia.

Soekarno sangat identik dengan baju safarinya, tongkat komando dan satu yang tak tertinggal, peci miringnya.

Baca Juga:

Paspampres Selalu Angkat Tangan Saat Soekarno Marah Besar, Sosok Polisi Ini yang Mampu Menghadapi

Soekarno Marah Telpon Alex Kawilarang Hingga Berujung Pada Penempelengan Keras Soeharto Karena ini

Bukannya Takut Malah Lakukan Hal Nekat Ini, Saat Soekarno Ditodong Meriam Dibentak Tentara

Cara Soekarno Merayakan Resminya Ia Sebagai Presiden Pertama Indonesia, Cuma dengan 50 Tusuk Sate

Nasib Tragis Soekarno di Akhir Kepemimpinannya, Minta Nasi Kecap untuk Sarapan Saja Tak Ada

Banyak yang tidak mengetahui sejarah peci miring Soekarno.

Namun sebuah kisah mencuatkan alasan Soekarno atau Bung Karno suka mengenakan peci miring.

Semua diketahui oleh pohon beringin.

Kok pohon beringin? 

Ya, pohon beringin menjadi saksi peristiwa dibalik alasan Soekarno memakai peci "bergaya" miring tersebut.

Anda sudah tentu pernah melihat foto Presiden Soekarno dengan peci miring.

Soekarno 

Apa alasan Soekarno memakai peci miring?

Jawaban itu dapat ditemukan di 'Ndalem Pojok' di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri.

"Rahasia mengapa Soekarno selalu memakai peci miring karena untuk menutupi luka di jidatnya akibat terjatuh ketika bermain di pohon beringin yang ada di depan rumahnya," kata RM Soeharyono keponakan RM Soemosewoyo yang juga bapak angkat Soekarno .

Namun sayang, pohon beringin yang menjadi saksi jatuhnya Soekarno itu telah ambruk sekitar tahun 1970-an karena diterjang angin.

Soekarno yang mempunyai banyak teman, sering mengajak teman-temannya main ke 'Ndalem Pojok' Wates, antara lain dr Soetomo, R Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) dan HOS Tjokroaminoto dan juga Muso, tokoh PKI asal Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.

Baca Juga:

Tingkatkan Sinergitas, Pemkab Muarojambi Adakan Senam Sehat

ABK Kapal Tentara Laut Diraja Malaysia & Marine Police Ciut Dibentak Kopaska, Jangkar pun Ditarik

VIDEO: Viral WNA Mendaki Gunung Anak Krakatau Secara Ilegal, Ini Penjelasan BKSDA

Pemkab Tanjung Jabung Timur Buka Lelang Jabatan Eselon II, Ini Formasinya

Terdata 23 Penderita HIV AIDS di Muarojambi, Dinkes Lakukan Pendampingan 10 Penderita

"HOS Tjokroaminoto melatih Soekarno berorasi ya di sini di bawah pohon beringin yang mengakibatkan luka pada jidatnya. Jadi gaya orasi Soekarno itu atas didikan Pak Tjokro yang juga mertuanya ketika kos di Peneleh Gang II/27 Surabaya," tambah Soeharyono.

Lokasi pohon beringin tempat di mana Soekarno berlatih orasi sekarang menjadi tiang bendera, di mana di setiap kegiatan hari besar nasional selalu diadakan upacara di 'Ndalem Pojok'.

Presiden Soekarno 

Selain cerita tentang pohon beringin juga ada pohon yang menjadi saksi perjalanan cinta ayah Soekarno , R Soekemi, yakni pohon kantil raksasa.

Pohon yang ditanam sekitar tahun 1850 oleh RMP. Soemohadmodjo itu pernah dimanfaatkan sang ayah untuk memantapkan hatinya meminang sang pujaan hati Ida Nyoman Rai Srimben dari Bali.

"Tanaman mbah buyut saya masih ada sampai sekarang, dan kalau dipikir ini adalah tanaman pohon kantil terbesar yang pernah ada," pungkas R.

Koeshartono cucu keponakan RM Soemosewoyo yang juga ayah angkat Soekarno.

Baca Juga:

Musim Duku Tahun Ini, Harga Duku Anjlok, Petani di Tanjabtim Terpaksa Jual Murah

Vanessa Angel Ungkap Tak Cocok dengan Ayahnya Sejak Remaja, Alasannya Dibongkar

Bawa Pulang Toyota Avanza Hanya 50 Juta, Catat Tanggalnya, 30 Januari 2019

Mengintip Sosok Anisha Dasuki Moderator Debat Capres-Cawapres Tahap 2, Ini Deretan Fotonya

Ahli Dermatologi Ungkap Tak Perlu Keluar Uang Jutaan Untuk Pelembab, Bahannya Sama Saja

Soekarno Dapat Jawaban Ketus Pelayan Istana di Akhir Karirnya

Ini sebuah kisah tragis mantan Presiden Soekarno di masa akhir kepemimpinannya.

Kisah ini dicuplik dari buku berjudul "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno" terbitan Penerbit Buku Kompas 2014 dan ditulis oleh Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, M.F. Mukti.

Pada suatu pagi di Istana Merdeka, Soekarno minta sarapan roti bakar seperti biasanya.

Langsung dijawab oleh pelayan, “Tidak ada roti.” Soekarno menyahut, “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang."

Dijawab, “Itu pun tidak ada.” Karena lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau.”

Presiden Soekarno (kolase grid)

Lagi-lagi pelayan menjawab, “Nasinya tidak ada.” Akhirnya, Soekarno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan di sana.

Maulwi Saelan, mantan ajudan dan kepala protokol pengamanan presiden juga menceritakan penjelasan Soekarno bahwa dia tidak ingin melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya.

“Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu,” kata Bung Karno.

Di saat lain, setelah menjemput dan mengantar Mayjen Soeharto berbicara empat mata dengan Presiden Soekarno di Istana.

Maulwi mendengar kalimat atasannya itu, ”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar.”

Baca Juga:

Selamatkan Aset, Pemda Tanjabtim Terus Upayakan Sertifikat Tanah Milik Pemda

Tidak Bisa Aktif, Enam Dai di Sarolangun Diberhentikan, Pemkab Rencanakan Kenaikan Insentif

Sosok Danjen Kopassus Baru, Panglima TNI Mutasi 104 Perwira Tingginya, Ini Daftar Namanya

Bupati Minta Kemenkumham Buka Kantor Imigrasi, Biar Ngurus Paspor, Cukup di Sarolangun

Maulwi Saelan tidak pernah paham maksud sebenarnya kalimat itu.

Ketika kekuasaan beralih, Maulwi Saelan ditangkap dan berkeliling dari penjara ke penjara.

Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur.

Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditangkap, dia diperintah untuk keluar dari sel.

Ternyata itu hari pembebasannya. Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI.

“Sudah, begitu saja,” kenangnya. (Intisari.grid.id/Yoyok Prima Maulana)

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

NONTON VIDEO TERBARU KAMI DI YOUTUBE:

IKUTI FANSPAGE TRIBUN JAMBI DI FACEBOOK:

Berita Terkini