Orang-orang yang Pernah 'Menempeleng' Soeharto,

Editor: Duanto AS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ahmad Yani diculik dari rumahnya saat peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Pernahkah mendengar kabar Soehato ditempeleng? Ini mungkin kabar yang jarang diketahui orang.

TRIBUNJAMBI.COM - Peristiwa ini memang pernah terjadi. Sebuah tamparan pernah menempel di wajah Soeharto.

Setidaknya ada tiga orang yang pernah mempermalukan  Soehato. Nasib mereka kemudian hari 'mengenaskan'.

Soeharto merupakan sosok yang ditakuti semasa pemerintahan Orde Baru. Namun jauh sebelum dia memerintah, ada sosok yang pernah menempelengnya. 

Itu diceritakan dalam buku memoar mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era 1960-an, Soebandrio, yang berjudul Kesaksianku Tentang G30S pada 2000.

Soeharto saat Peristiwa G30S/PKI (pijardaritimur)

Dalam buku tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto.

Dia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno.

Baca: Rencana Veronica Tan Jelang Ahok BTP Bebas Penjara, Benarkah Perceraian hanya Strategi?

Baca: Bisakah Ahok BTP jadi Ketua PSSI? Ini Aturan-aturan yang Bolehkan dan Halangi, Lolos Nggak?

Baca: Daftar Danjen Kopassus sejak 1952-Sekarang, Ungkap Misi Rahasia dengan CIA

Baca: Video Vanessa Angel dalam Kamar Durasi 1 Menit, Dia sempat Kaget dan Meloncat

Baca: Foto Syur Vanessa Angel Mandi Berdua di Kamar Mandi Beredar, Nama Artisnya Telah Dikantongi

 

//

 

Menurutnya, Soeharto punya rekam jejak yang buruk, jauh sebelum peristiwa G30S.

Pertama, semasa di Divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha Tionghoa, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.

Soebandrio menyebut orang-orang ini menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.

Nasib Ahmad Yani dan AH Nasution

Kabar itu berhembus kemana-mana hingga ke telinga Jenderal Ahmad Yani.

Kabarnya, Ahmad Yani sangat marah. Sampai-sampai, dalam suatu kejadian, dia menempeleng Soeharto.

Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD).

Bukan hanya itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal AH Nasution, juga dikabarkan pernah memecat Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro secara tidak hormat.

Soeharto dianggap telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.

Ahmad Yani diculik dari rumahnya saat Gerakan 30 September 1965.

“Sebagai Penguasa Perang, saya merasa ada wewenang mengambil keputusan darurat untuk kepentingan rakyat, ialah dengan barter gula dengan beras. Saya tugasi Bob Hasan melaksanakan barter ke Singapura, dengan catatan beras harus datang lebih dahulu ke Semarang,” demikian pengakuan Soeharto dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989).

Namun, saat itu Soeharto diselamatkan Mayjend Gatot Subroto.

Baca: Peristiwa 1958, Cuaca Ambon Makin Buruk, Pesawat Terguncang Hebat, RPKAD Lawan Teman Sendiri

Baca: Istri Sendiri Tak Tahu Suaminya Anggota Satuan Rahasia Kopassus, Membedah Isi Sat-81

Baca: Pembebasan Sandera MV Sinar Kudus Oleh Kopassus, Denjaka dan Kopaska Melejitkan Letjen Doni Monardo

Menurut Gatot, Soeharto masih bisa dibina. Akhirnya Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.

Akhir hayat Jenderal Nasution menyedihkan

Nasib Jenderal AH Nasution dan Jenderal Ahmad Yani berbeda saat terjadi peristiwa penculikan jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965.

Ahmad Yani tewas, sementara AH Nasution berhasil melarikan diri.

Namun Jenderal Nasution harus kehilangan putrinya, Ade Irma Suryani.

Nasution masih hidup hingga 2000.

Selepas menjadi Ketua MPRS dan melantik Soeharto sebagai presiden ke-2 RI, kariernya meredup.

Di Orde Baru, Nasution nyaris tak kebagian peran mengurus negara. Yang terjadi malah ia dicekal orde baru.

Nasution juga tidak boleh muncul dalam acara kenegaraan, dimana ada Presiden Soeharto.

Bahkan, sampai urusan mobil Holden Priemer tua lungsuran dari Hankam yang dipakai Nasution sehari-hari, ikut ditarik dari kediamannya.

Sebuah cerita di penghujung hayatnya malah membuat banyak orang bersedih.

Kabarnya, dia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme.

Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi.

Berstatus jenderal, tapi mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya. Kabarnya, ada yang memutus aliran air PAM ke rumahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, Nasution terpaksa membuat sumur di belakang rumah.

Sumur itu masih ada sampai sekarang.

Nasib Kolonel Kawilarang

Dalam sejarah dunia militer Indonesia, sosok Alex Evert Kawilarang merupakan nama yang tak asing lagi dikenal.

Pria kelahiran Batavia (kini Jakarta), 23 Februari 1920 ini pernah menempeleng Presiden kedua Indonesia, Soeharto.

Penempelengan tersebut terjadi ketika Kawilarang menjabat sebagai Panglima selaku atasan dari Letkol, Soeharto.

Sekira 1950-an, sebagai Panglima Wirabuana, Alex E Kawilarang melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman.

Namun, Soekarno justru menyodorkan sebuah radiogram yang baru saja diterimanya, yang melaporkan bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar.

Brigade Mataram, pasukan yang seharusnya mempertahankan kota Makassar saat itu juga dilaporkan telah mundur ke Lapangan Udara Mandai.

Mendengar radiogram tersebut, Kawilarang marah besar dan segera kembali ke Makassar.

Setibanya di lapangan udara Mandai, dia langsung memarahi Komandan Brigade Mataram, Letkol Soeharto, sambil menempelengnya.

Alex E Kawilarang (kiri), Soeharto (kanan) (kolase tribunnews)

Siapakah Alex Kawilarang?

Alex E Kawilarang merupakan putera dari keluarga dengan latar belakang militer.

Ayahnya AHH Kawilarang merupakan seorang mayor KNIL asal Tondano. Dia lahir dari ibu bernama Nelly Betsy Mogot, yang berasal dari Remboken. 

Alex E Kawilarang merupakan sepupu dari Pahlawan Nasional, Daan Mogot.

Dia meninggal di Jakarta, pada 6 Juni 2000, di usia 80 tahun.

Selain sebagai perwira militer yang termasuk dalam Angkatan '45, Alex E Kawilarang juga merupakan mantan anggota KNIL.

Alex E Kawilarang mengawali karier sebagai Komandan Pleton Kadet KNIL di Magelang, pada 1941-1942.

Kariernya melaju cepat

Pada 11 Desember 1945, dia telah menjadi perwira dengan pangkat mayor dan bertugas sebagai penghubung dengan pasukan Inggris di Jakarta.

Sebulan kemudian, tepatnya pada Januari 1946, dia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Infanteri Bogor Divisi II Jawa Barat, dengan pangkat letnan kolonel.

Tiga bulan setelah itu, pada April-Mei 1946, dia diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor.

Tiga bulan selanjutnya, yakni pada Agustus 1946 hingga 1947, Alex mendapat kepercayaan sebagai Komandan Brigade II/Suryakencana - Divisi Siliwangi di Sukabumi, Bogor dan Tjiandjur.

Pada 1948-1949, Kawilarang menjabat sebagai Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta.

Di tahun yang sama, tepatnya pada 28 November 1948, dia juga menjabat sebagai Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli, Sumatera Timur bagian selatan.

Setahun selanjutnya, pada 1 Januari 1949, pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dia dipercaya sebagai Wakil Gubernur Militer PDRI untuk wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur bagian selatan.

Di penghujung 1949, tepatnya pada 28 Desember, dia dipercaya sebagai Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara merangkap Wakil Koordinator Keamanan dengan pangkat kolonel.

Dua bulan kemudian, pada 21 Februari 1950, dia mendapatkan kepercayaan tambahan sebagai Panglima Tentara dan Territorium I/Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan.

Pada 15 April 1950, dia diangkat sebagai Panglima Operasi Pasukan Ekspedisi.

Saat itu, dia ditugaskan untuk memimpin Pasukan Ekspedisi dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan Andi Azis di Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.

Pada 1951-1956, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur (TTIT) di Makassar dan pada November tahun yang sama menjadi Panglima TT III/Siliwangi yang di kemudian hari diubah namanya menjadi Kodam III/Siliwangi.

Salah satu jasanya yang hingga kini sangat terasa kehadirannya adalah saat ia merintis pembentukan pasukan khusus TNI pada April 1951, dengan nama Kesatuan Komando Territorium III (Kesko TT-III) Siliwangi di Batujajar, Jawa Barat.

Kesatuan ini merupakan cikal bakal dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sekarang.

Pada 10 November 1951 hingga 14 Agustus 1956, Alex Kawilarang diangkat menjadi Panglima Komando Tentara dan Territorium III/Siliwangi yang berkedudukan di Bandung. (Intisari)

Kisah-kisah tentang Soekarno, Soeharto, Kopassus, Paskhas, Denjaka, pasukan khusus dan pasukan elite dapatdibaca di Tribunjambi.com.

Baca: Nyatanya 7 Ramalan Gus Dur ke Soeharto & Jokowi, Lalu Akan Terjadi kah Ramalannya Terhadap Ahok?

Baca: Raja Intel Peringatkan Soeharto, Malah Terima Pembalasan Dendam Beberapa Waktu Kemudian

Baca: Sosok Denjaka Pemburu Perompak Somalia Itu Kini Menjadi Komandan Korps Marinir TNI AL

Baca: Ngintip Isi Skripsi Dian Sastro yang Bikin Pening, Ternyata yang Bimbing Rocky Gerung

Baca: Ini Kekuatan Rahasia Kopassus yang Bikin KKB Khawatir, Bila Pasukan Elite Dikirim, Sekejap Hancur

Berita Terkini