Saat pertempuran sengit melawan pasukan marinir Belanda, Agus mengalami luka tembak di kedua kakinya dan pada bagian punggung sehingga terpaksa ditinggalkan di medan pertempuran.
Agus pun tertangkap pasukan marinir Belanda sewaktu melakukan operasi pembersihan dan kemudian ditawan.
Pasukan Belanda memperlakukan Agus sesuai konvesi Jeneva, ia dirawat hingga sembuh tapi kedua kakinya terpaksa diamputasi mengingat luka tembaknya sudah membusuk.
Setelah misi pembebasan Irian Barat selesai, Agus masih bertugas di lingkungan RPKAD meski dalam kondisi tanpa kaki satu dan memakai kaki palsu.
Saat itu, ia satu batalyon dengan Benny Moerdani.
Pada akhir 1964, diadakan sebuah pertemuan perwira RPKAD membahas penghapusan tentara invalid dari RPKAD dan Benny Moerdani diundang dalam pertemuan itu.
Namun Benny tidak setuju dan menyatakan `protes' terhadap kebijakan komandan RPKAD waktu itu, Moeng Pahardimulyo.
Benny bersikeras prajurit seperti Agus Hernoto harus tetap berada di satuan RPKAD mengingat jasa dan pengorbanannya bagi bangsa serta negara yang demikian luar biasa.
Kabar keberatan Benny pun sampai ke telinga Jenderal Achmad Yani yang saat itu telah menjadi Panglima Angkatan Darat.
Benny dianggap telah membangkang. Ia akhirnya didepak dari RPKAD dan dipindah ke Kostrad.
Sementara itu, Agus dikeluarkan dari satuan RPKAD dan kemudian bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa atau Pasukan Pengawal Presiden RI Soekarno.
Benny kemudian bergabung dengan Operasi khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Agus Hernoto pun masuk dalam Opsus.
Karier Benny terus melesat dan sampai puncaknya ketika menjabat sebagai Panglima TNI.
Kembali lagi ke upacara pemberian baret merah Kopassus kepada Raja Malaysia, pada akhirnya Benny bersedia mengenakan baret itu dan mengikuti acara.
Semua jadi lega dan upacara pun berjalan lancar.