TRIBUNJAMBI.COM - Sosok Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny Moerdani tidak bisa dilepaskan dari perkembangan militer di Indonesia.
Ia pernah menjadi Panglima ABRI hingga Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Selama menjadi prajurit pun, ia dikenal sebagai seseorang yang cerdas dan berani terjun ke medan pertempuran meski tak tahu bisa pulang selamat atau tinggal nama.
Ada satu perilaku dari Benny yang cukup membuat orang di sekitarnya terheran-heran.
Kala itu, di tahun 1985, Jenderal Benny Moerdani menghadiri undangan Kopassus yang semula bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Dijelaskan dalam buku Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto, Benny yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI diminta untuk memberikan baret merah kehormatan Kopassus kepada Raja Malaysia, Yang Dipertuan Agung Sultan Iskandar.
Sebelum acara dimulai, ia beristirahat di ruang Komandan Kopassus Brigjen Sintong Panjaitan.
Di sana ada pula KASAD Jenderal Try Sutrisno, Wakil KASAD Letjen TNI Edi Sudrajat dan Wakil Komandan Kopassus Kolonel Kuntara.
Ada kejadian mengejutkan di ruangan sedang ditempati para perwira tinggi TNI itu.
Saat Brigjen Sintong memberikan baret merah kehormatan Kopassus, Benny membanting baret itu ke meja dan akhirnya jatuh di lantai.
Sontak orang-orang di ruangan itu terkejut saat melihat Benny begitu emosi dan berwajah seram.
Usut punya usut, tindakan Benny itu berkaitan dengan kisah masa lampau.
Benny Moerdani masih tidak terima dan marah terkait dirinya yang pernah didepak sebagai anggota RPKAD alias Kopassus di era kepemimpinan Kolonel Moeng Parhadimulyo.
Kronologinya bermula saat Benny masih jadi bagian dari RPKAD dan terlibat dalam pembebasan Irian Barat pada tahun 1962.
Singkat cerita, Irian Barat jatuh ke tangan Indonesia dan keberhasilan itu menyisakan sebuah kisah tentang seorang anak buah Benny, Lettu Agus Hernoto.
Saat pertempuran sengit melawan pasukan marinir Belanda, Agus mengalami luka tembak di kedua kakinya dan pada bagian punggung sehingga terpaksa ditinggalkan di medan pertempuran.
Agus pun tertangkap pasukan marinir Belanda sewaktu melakukan operasi pembersihan dan kemudian ditawan.
Pasukan Belanda memperlakukan Agus sesuai konvesi Jeneva, ia dirawat hingga sembuh tapi kedua kakinya terpaksa diamputasi mengingat luka tembaknya sudah membusuk.
Setelah misi pembebasan Irian Barat selesai, Agus masih bertugas di lingkungan RPKAD meski dalam kondisi tanpa kaki satu dan memakai kaki palsu.
Saat itu, ia satu batalyon dengan Benny Moerdani.
Pada akhir 1964, diadakan sebuah pertemuan perwira RPKAD membahas penghapusan tentara invalid dari RPKAD dan Benny Moerdani diundang dalam pertemuan itu.
Namun Benny tidak setuju dan menyatakan `protes' terhadap kebijakan komandan RPKAD waktu itu, Moeng Pahardimulyo.
Benny bersikeras prajurit seperti Agus Hernoto harus tetap berada di satuan RPKAD mengingat jasa dan pengorbanannya bagi bangsa serta negara yang demikian luar biasa.
Kabar keberatan Benny pun sampai ke telinga Jenderal Achmad Yani yang saat itu telah menjadi Panglima Angkatan Darat.
Benny dianggap telah membangkang. Ia akhirnya didepak dari RPKAD dan dipindah ke Kostrad.
Sementara itu, Agus dikeluarkan dari satuan RPKAD dan kemudian bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa atau Pasukan Pengawal Presiden RI Soekarno.
Benny kemudian bergabung dengan Operasi khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Agus Hernoto pun masuk dalam Opsus.
Karier Benny terus melesat dan sampai puncaknya ketika menjabat sebagai Panglima TNI.
Kembali lagi ke upacara pemberian baret merah Kopassus kepada Raja Malaysia, pada akhirnya Benny bersedia mengenakan baret itu dan mengikuti acara.
Semua jadi lega dan upacara pun berjalan lancar.