Di masa sekarang, Paska TNI AL dikenal sebagai Komando Pasukan Katak/Kopaska
Sesuai dengan kemampuan Kopaska, tugas mereka adalah menyusup ke wilayah lawan untuk melancarkan serangan sabotase atau menyingkirkan penghalang bagi pendaratan pasukan amfibi.
Ketika Operasi Trikora digelar, pasukan Kopaska yang berpangkalan di Teluk Peleng, Sulawesi, sedang dalam kondisi siap siaga.
Seperti dikutip dari buku Kopaska Spesialis Pertempuran Laut Khusus TNI AL 2012.
Berada di Teluk Peleng sambil menunggu perintah sesungguhnya merupakan kegiatan yang cukup membosankan bagi anggota Pasukan Katak saat itu, meskipun sejumlah latihan tempur tetap dilakukan.
Pasukan Kopaska yang dipimpin oleh Mayor Urip Santosa sempat mendapat kesibukan baru.
Hal ini lantaran turun perintah untuk menyiapkan kurang lebih 2 peleton sukarelawan sipil beserta 5 human torpedo (torpedo manusia) untuk misi bunuh diri.
Selama Perang Dunia II, torpedo manusia yang oleh AL Jepang disebut 'Kaiten' ini sebenarnya pernah dioperasikan, dan pilotnya mendapat penghargaan khusus serta hadiah uang.
Sebelum dioperasikan di lapangan, dalam progam latihan Kaiten telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 15 orang pilot.
Mayor Urip masih merasa asing dengan senjata 'torpedo manusia' itu, karena belum pernah mendapat briefing khususnya peta operasi dan pendaratan sasaran yang akan dituju.
Berkaitan dengan torpedo manusia itu, Mayor Urip hanya pernah mendengar tentang adanya Proyek Y, yakni torpedo biasa yang diisi dengan 100 kg TNT.
Untuk pemicu ledakannya digunakan mekanisme detonasi yang secara otomatis akan meledak waktu bertabrakan dengan dinding kapal.
Dari mekanisme kerjanya, torpedo dibawa menggunakan sebuah speedboat kecil yang digerakan motor tempel 100TK.
Speedboat itu sendiri dikemudikan oleh seorang pilot yang akan mengarahkan dan membenturkan torpedo pada kapal musuh.
Sesaat sebelum torpedo membentur kapal musuh, pilot harus melompat menggunakan kursi pelontar yang sistemnya mirip kursi lontar jet tempur