Amunisi Baru Berangus Korupsi - Transaksi Tunai di atas Rp 100 Juta akan Dilarang (Bagian-1)

Editor: Fifi Suryani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

RATUSAN orang memadati Aula Yunus Husein Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Selasa (17/4) pekan lalu. Termasuk, Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly.

Pagi itu, Bambang dan Yasonna yang kompak mengenakan kemeja putih hadir sebagai narasumber dalam acara Diseminasi Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (RUU PTUK). Ikut menjadi pembicara: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo.

Baca: Benarkah Penghasilan Pas-pasan Picu Depresi? Penelitian Ini Ungkap Perbandingannya

Calon beleid itu kelak memainkan peran sangat penting. “Penetapan RUU tersebut akan membantu upaya dari sisi pencegahan maupun penindakan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,” kata Kiagus Ahmad Badaruddin, Ketua PPATK, di acara itu.

Pemerintah memang berencana membatasi transaksi dengan menggunakan uang tunai. RUU PTUK menyebutkan, setiap orang dilarang melakukan transaksi uang kartal di atas.

Rp 100 juta atau yang nilainya setara, baik satu kali maupun beberapa kali transaksi, dalam satu hari. Setiap orang maksudnya, orang perorangan maupun korporasi.

Menurut Kiagus, ada sejumlah faktor yang mendorong kelahiran bakal undang-undang tersebut.

Pertama, hasil riset analisis PPATK menemukan, ada peningkatan tren transaksi uang kartal. Tren ini disinyalir untuk mempersulit upaya pelacakan asal-usul uang yang berasal dari tindak pidana.

Baca: Sentimen Positif dari Dalam Negeri, Rupiah Menguat 0,13 Persen

Baca: Suku Bunga Acuan Naik, Bank Tahan Kenaikan Bunga Kredit

“Pelaku berusaha memutus pelacakan aliran dana ke pihak penerima dana dengan melakukan transaksi tunai. Ini berbeda dengan transaksi nontunai dalam jumlah besar yang bisa dilacak PPATK,” ujar Kiagus.

Kedua, pembatasan transaksi tunai berguna untuk mengeliminasi sarana yang bisa digunakan untuk melakukan gratifikasi, suap, dan pemerasan.

Betul, Bambang menyebutkan, selama ini PPATK kerap kesulitan melacak aliran dana kasus korupsi dalam bentuk tunai lantaran tidak tercatat dalam sistem keuangan.

Itulah kenapa, besaran transaksi tunai di suatu negara memiliki korelasi dengan indeks korupsi mereka. Contoh, Bulgaria, Rusia, India, dan Indonesia memiliki transaksi tunai di atas 60%, sehingga mempunyai persepsi tingkat korupsi buruk.

Sudah jadi rahasia umum, banyak pihak yang menggunakan uang tunai untuk melakukan gratifikasi dan suap. KPK berulang kali menangkap tangan pejabat publik yang menerima gratifikasi atau suap, dengan nilai mencapai miliaran rupiah dalam satu kasus.

Baca: Kenaikan Bunga Acuan Berefek Negatif, IHSG Turun 27.47 Poin

Baca: Lebih Rendah Dibanding 1 Bulan Sebelum Lebaran, Inflasi Mei 2018 Sebesar 0,21 Persen

Baca: Jangan Sepelekan Jika Perut Ibu Hamil Terasa Kencang, Ada Kemungkinan Bahaya

Kiagus mengungkapkan, beberapa negara sudah menerapkan kebijakan pembatasan transaksi tunai, seperti Italia, Belgia, Armenia, Meksiko, dan Brasil.

Mereka memberlakukan aturan itu untuk menekan pidana suap, pendanaan terorisme, dan pencucian uang. “Karena itu, sudah saatnya pemerintah melakukan pembatasan transaksi tunai untuk meminimalisasi korupsi,” imbuhnya.

Selain kebutuhan penegakan hukum, Kiagus menambahkan, pembatasan transaksi uang kartal juga mengurangi biaya pencetakan uang oleh Bank Indonesia (BI). Lalu, pembatasan akan mendidik masyarakat untuk mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya.

Tidak semua transaksi

Halaman
1234
Tags:

Berita Terkini