Human Interest Story

Kisah Orang Rimba Jambi Beli Sapi dari Menabung dan Hidup di Sudung

Di tengah hamparan kebun sawit yang nyaris tak bertepi di Desa Rejosari, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Merangin, berdiri belasan sudung.

Penulis: Khusnul Khotimah | Editor: Mareza Sutan AJ
Tribunjambi.com/Khusnul Khotimah
HIDUP DI KEBUN - Potret orang rimba di Desa Rejosari, Kabupaten Merangin yang hidup di tengah kebun orang, Jumat (1/8/2025). Mereka menabung mulai dari seribu untuk membeli sapi. 

TRIBUNJAMBI.COM, BANGKO - Di tengah hamparan kebun sawit yang nyaris tak bertepi di Desa Rejosari, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Merangin, berdiri belasan sudung.

Di antara mereka, ada Gino, yang punya cita-cita tinggi untuk generasi masa depan orang rimba di sana.

Sudung merupakan pondok kayu beratap terpal, tanpa dinding, tanpa lantai, tanpa sekat. Di belasan sudung itu, lebih dari 60 jiwa Suku Anak Dalam (SAD) menggantungkan hidup.

Mereka bukan sekadar singgah. Mereka tinggal. Hingga kapan? Tak ada yang tahu.

Mereka bisa saja dipaksa pergi jika pemilik kebun meminta. Atau jika musibah datang dan tempat itu dianggap tak lagi "bersih" secara adat.

Sudung-sudung itu menjadi tempat tidur, tempat memasak, tempat menyimpan pakaian, dan tempat membesarkan anak-anak.

Di sanalah mereka hidup, dalam keterbatasan, dengan harapan yang dipeluk erat, meski kadang terasa makin jauh.

Di antara mereka ada Gino (39), lelaki bersahaja dengan suara pelan tapi mantap. 

"Kami ingin anak-anak sekolah," katanya. "Tapi makan saja kami susah," lanjut Gino.

Tabung Seribu Perak untuk Beli Sapi

Gino tak pernah berpangku tangan. Dari uang seribu-dua ribu rupiah yang ia kumpulkan setiap kali ada rezeki, ia menabung. 

Pelan-pelan, tabungan itu semakin banyak, hingga cukup untuk membeli seekor sapi. Kini, dia sudah memiliki enam ekor sapi.

"Saya beli sapi dari hasil ngumpulkan uang sedikit-sedikit. Kalau butuh uang, saya jual untuk makan anak-anak," ujarnya.

Kisah itu terjadi pada Lebaran Idul Adha lalu. Satu sapinya dijual demi menyambung hidup.

Beternak, bagi Gino bukan sekadar usaha; itu adalah strategi bertahan hidup.

Cara untuk tak sepenuhnya bergantung pada belas kasih orang lain.

Sehari-hari, Gino dan warga lainnya memungut berondolan sawit dari kebun milik orang. Tapi itu pun tak menentu. 

"Kadang dapat izin, kadang tidak. Kalau tidak boleh, ya kami tidak bisa apa-apa," katanya.

Hasil dari berondolan sawit itulah yang mereka tukar dengan beras, garam, dan kebutuhan pokok lain.

Tapi karena tidak stabil, hidup pun terus berada di batas tipis antara cukup dan tidak.

Atap Terpal, Anak-Anak, dan Ancaman dari Atas

Ketika musim panen tiba, buah sawit kerap jatuh dari atas dan menghantam atap sudung. Akibatnya, terpal koyak, air hujan masuk, dan tidur tak lagi nyenyak.

"Kami marah, tapi mau bagaimana lagi. Ini kebun mereka, kami cuma numpang," kata Gino mengeluh.

Sudung yang kecil harus menampung dua, tiga, bahkan lima orang. Anak-anak tidur berdesakan.

Pakaian ditumpuk di sudut pondok. Tak ada lemari, tak ada ruang. Tapi di sudung-sudung itu juga, terlihat sepeda motor terparkir dan televisi kecil menyala.

Ini tanda mereka sedang berusaha menyambung kehidupan modern dengan akar tradisi yang tersisa.

Posyandu, Kesehatan dan Terbatas

Layanan kesehatan memang mulai menjangkau sudung-sudung SAD di Rejosari.

Posyandu keliling datang, walau baru tiga kali dalam setahun. Tapi, bagi SAD, itu sudah cukup berarti. 

Meski demikian, penyakit tetap datang silih berganti: demam, batuk, pilek, hingga asam lambung. Istri Gino pernah sakit hingga harus dirawat. 

Lain lagi, dua tahun lalu, seorang warga meninggal karena tuberbulosis (TB) paru. Lainnya harus dirawat beberapa hari, tapi tak kunjung pulih.

Gino dan warga lainnya tetap berharap ada perhatian lebih. Tidak hanya datang sesekali, tapi benar-benar hadir dalam kehidupan mereka yang rawan dan serba terbatas.

SAD Orang Rejosari

Meski hidup di tengah kebun orang, Gino merasa menjadi bagian dari desa.

Gino aktif sebagai anggota Linmas (Perlindungan Masyarakat) Desa Rejosari. 

Dia mengikuti kegiatan, hadir dalam rapat, dan menyuarakan harapan. Pemerintah pernah menawarkan mereka tempat tinggal baru, permukiman yang lebih layak. Tapi Gino menolak.

"Kami orang Rejosari. Kami warga di sini. Kami tidak mau pindah dari sini," ucapnya.

Bagi mereka, Rejosari adalah rumah. Bukan hanya tempat tinggal, tapi bagian dari jati diri. 

Di sanalah dulu mereka mencari rotan, mengumpulkan umbut, meramu tanaman obat. 

Kini, hutan sudah habis. Suku Anak Dalam pun terpaksa tinggal di tengah kebun, bertahan sebisa mungkin.

“Sekarang mau meramu apa? Hutan sudah habis," tuturnya lirih.

Mimpi yang Masih Tertahan

Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang mereka terima. Tapi itu belum cukup. 

Anak-anak Gino ada yang sudah bersekolah, namun sebagian lain belum bisa melanjutkan pendidikan.

"Ingin kami semua anak-anak sekolah. Tapi kami tidak ada dana," kata Gino.

Dia masih memimpikan masa depan yang lebih baik. Masa depan di mana anak-anak dari sudung itu bisa sekolah tanpa harus menunggu hasil berondolan.

Masa depan, di mana mereka bisa tinggal di rumah permanen, seperti warga desa lainnya.

Di balik keterbatasan, Gino menyimpan harapan yang tak bisa dibeli.

Harapan untuk hidup lebih layak, di tanah yang mereka sebut rumah, dengan martabat Suku Anak Dalam yang seharusnya tak pernah ditawar.

 

(Tribunjambi.com/Khusnul Khotimah)

 

Baca juga: Viral Kakek 73 Tahun Nikahi Gadis 27 Tahun di Bengkulu, Saiun: Namanya Jodoh

Baca juga: Viral Emak Berdaster Gagalkan Aksi Begal Residivis asal Sumsel yang Akhirnya Kena Dor

Baca juga: Suami Curiga lantas Gerebek Istri Berduaan sama Pak Kades di Kamar Kos usai Antar Anak

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved