Berita Bungo
Juliana Jadi Perempuan SAD Pertama yang Kuliah, Menyalakan Harapan dari Dalam Rimba
Juliana, perempuan pertama dari Suku Anak Dalam (SAD) di Bungo yang berhasil kuliah, menjadi simbol perubahan. Ia kuliah demi menjaga adat dan hutan
Penulis: Khusnul Khotimah | Editor: Nurlailis
TRIBUNJAMBI.COM, BUNGO - Juliana duduk anggun di pendopo pemukimannya siang itu, mengenakan jilbab kurung berwarna hitam.
Senyum manis menghiasi wajahnya saat menyambut kedatangan kami.
Sosoknya tak hanya memancarkan kelembutan, tapi juga kekuatan.
Baca juga: Juliana Jadi Perempuan SAD Pertama yang Kuliah, Ungkap Pendidikan sebagai Jalan Menjaga Tradisi
Ia adalah perempuan pertama dari komunitas Suku Anak Dalam (SAD) di Dusun Dwi Karya Bhakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, yang berhasil duduk di bangku kuliah.
“Saya kuliah bukan untuk melawan adat, tapi untuk menjaga adat kami dengan ilmu,” katanya, matanya berbinar, Rabu (23/7/2025).
Juliana bukan hanya simbol keberhasilan pribadi, tapi menjadi lambang dari perubahan besar yang sedang terjadi di komunitas SAD yang dahulu dikenal hidup berpindah-pindah di hutan.
Dulu Tinggal di Sudung, Kini Punya Rumah dan Sumur Bor.
Juliana mengisahkan, dulunya mereka tinggal di sudung pondok kecil sederhana di tengah hutan.

Baca juga: Ikan Asap Jadi Harapan, Usaha SAD Dwi Karya Bhakti Bungo Jambi Bertahan di Tengah Stigma
Mereka makan dari berburu dan meramu.
Kini, berkat program pemerintah, warga SAD mulai hidup menetap.
Rumah-rumah layak huni dibangun, air bersih tersedia dari sumur bor.
”Sekarang kami jarang ke hutan. Kalau pun iya, cuma sehari atau dua hari, biasanya untuk cari rotan atau jernang,” ujarnya.
Kegiatan berburu kini ditinggalkan. Mayoritas warga dikomunitas Juliana telah memeluk agama Islam.
Dusun pun kini memiliki musholla dan warga telah menjalankan ibadah seperti komunitas Muslim lainnya.
Baca juga: Lebih 500 Warga SAD di Merangin Jambi Sudah Miliki e-KTP, Ini Tantangan di Lapangan
Setelah lulus dari SMK, Juliana diajak oleh organisasi Pundi Sumatra mengunjungi beberapa perguruan tinggi di Jambi.
Di Universitas Muhammadiyah Jambi, ia mendapat sambutan hangat.
Rektor kampus tersebut langsung menawarkan beasiswa.
Namun, keputusannya kuliah menuai konflik di komunitasnya.
“Orang tua saya mendukung. Tapi dari komunitas lain, saya dibilang melanggar adat. Katanya perempuan tak boleh jauh dari orang tua,” kenangnya.
Juliana menerima cibiran dan tudingan negatif. Tapi tekadnya tak surut.
Ia menjelaskan bahwa tujuannya kuliah justru demi menjaga adat dan hutan.
Ia pun memilih jurusan Kehutanan agar kelak bisa membantu komunitasnya menjaga hutan dengan pendekatan ilmiah.
“Kalau saya paham tentang hutan, saya bisa bantu komunitas saya mempertahankannya,” ucapnya.
Meski sudah menyelesaikan kuliah, Juliana belum bekerja. Ia mengakui bahwa tekanan sosial dan stigma masih menjadi tantangan tersendiri.
Namun ia ingin menjadi contoh bagi generasi berikutnya.
“Saya tetap ingin bekerja dan memberi motivasi ke adik-adik SAD lainnya,” katanya pelan.
Tak hanya pendidikan, kehidupan ekonomi warga SAD pun mulai berkembang.
Di kelompok Juliana, warga mengelola beberapa kegiatan ekonomi berbasis budaya dan alam seperti Pengolahan ikan asap, Budidaya ikan, Kerajinan anyaman rotan yang diwariskan sejak zaman nenek moyang. Yang paling menonjol adalah ikan asap.
Produk olahan mereka telah mendapat izin BPOM dan sudah rutin ikut pameran. Ikan-ikan itu juga dititipkan di toko-toko lokal sekitar dusun.
“Satu pcs isinya sekira tiga ekor, kami jual sekira Rp20 ribu,” jelas Juliana.
Tribun Jambi juga berkesempatan untuk langsung mencicipi ikan asap olahan suku anak dalam di dusun ini dan memuji kelezatan ikan asap tersebut.
Rasanya gurih, aroma asapnya tidak terlalu menyengat, lembut di mulut, apalagi saat dicocol sambal kecap bawang dan tomat buatan mereka.
”Ikan asap ini enak sekali. Rasa smoke-nya pas, tidak terlalu kuat. Dagingnya lembut,” ujar Tribun Jambi saat mencicipinya.
Dusun Dwi Karya Bhakti kini tampak sangat berbeda dibanding beberapa tahun silam.
Dari pantauan langsung Tribun Jambi, sebagian warga telah berpakaian layaknya masyarakat umum.
Mereka tak canggung menggunakan handphone, bahkan sudah banyak yang memiliki motor.
Bahkan ada keluarga memiliki mobil.
Ada rumah yang sudah direhabilitasi dan berdiri kokoh.
Akses jalan ke dusun juga sudah cukup baik beraspal meski harus menempuh jarak cukup jauh dari kota.
Untuk sinyal, hanya kartu -kartu tertentu yang bisa digunakan, namun cukup untuk komunikasi dasar.
Tak hanya ramah, warga SAD di dusun ini juga mudah diajak bercerita.
Mereka terbuka, aktif berbicara, dan antusias menceritakan perubahan yang mereka alami.
Juliana menutup perbincangan dengan satu harapan kuat agar pemerintah terus memberi dukungan pendidikan untuk komunitas SAD.
Ia percaya, pendidikan adalah jembatan terbaik untuk membawa kaumnya menjadi lebih maju, tanpa harus kehilangan jati diri.
“Saya ingin adik-adik saya (SAD) bisa lebih maju, tapi juga tetap menjaga nama baik suku kami,” tuturnya dengan suara penuh harap.
Juliana kini menjadi nyala kecil di tengah hutan yang sedang berubah.
Ia bukan hanya anak muda dari suku terpinggirkan ia adalah harapan, bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari satu langkah kecil, dan bahwa perempuan dari dalam rimba pun bisa bersuara, berdiri, dan bermimpi.
Update berita Tribun Jambi di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.