Di Tengah Kenaikan Harga Pinang Tanjabbar, Wak Pur Tak Lelah Berjuang Demi Pendidikan Anak

TRIBUNJAMBI.COM, KUALA TUNGKAL – Seorang perempuan berbadan kurus, berkulit keriput, mengenakan daster dan mengikat rambut ke belakang, tampak tergopoh-gopoh keluar dari rumahnya yang sederhana.

Beberapa anak kecil, serta orang-orang sebaya dengannya, memanggil dari depan rumah.

"Uwak, beli," seru mereka.

Perempuan yang akrab disapa Wak Pur itu, dengan rambut depan yang mulai memutih, tetap lincah menjalani aktivitas sehari-harinya. 

Nama lengkapnya Purwanti. Ia adalah seorang nenek yang terus berjuang di tengah ketidakstabilan harga pinang di daerahnya.

Seperti hari-hari biasanya, Wak Pur bolak-balik dari dapur ke halaman rumah. 

Ia membantu suaminya mengupas dan menjemur pinang, sekaligus mengelola warung kecil di teras rumah berukuran sekitar 3x5 meter. 

Ia menjual soto dan makanan pendamping untuk menambah penghasilan keluarga.

Sebulan terakhir, harga pinang di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar) memang cenderung naik, membuat para petani pinang, termasuk suami Pur, semakin semangat. 

Pur pun turut membantu, agar pinang lebih cepat siap jual.

"Ya lumayan, Ra. Kalau tak bantu uwak jantan (sebutan suaminya untuk anak muda – red), kasihan juga, lama siapnya pinang tu. Harga lagi bagus, jadi kita siapkan dulu pinang ni. Bisa sampai Rp28 ribu jualnya kalau super," kata Pur saat berbincang.

Meski sibuk dengan pekerjaan pinang, Wak Pur tetap setia menjaga warung kecilnya. 

Meskipun rumahnya berada di gang sempit, banyak tetangga yang menyukai masakannya.

Harga makanannya pun terjangkau. Seporsi soto lengkap dengan lontong dan telur rebus hanya dihargai Rp10 ribu.

Dalam kehidupan sederhananya, Pur tetap memprioritaskan pendidikan anak-anaknya.