Berita Jambi
Soal Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang di Koto Boyo, DLH Jambi: Sampel Sudah Diserahkan ke Polda
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi angkat bicara terkait dugaan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang batubara di kawasan Koto Boyo
Penulis: Danang Noprianto | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi angkat bicara terkait dugaan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang batubara di kawasan Koto Boyo, Kabupaten Batanghari.
Kepala DLH Provinsi Jambi, Varial Adhi Putra melalui Koordinator Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) Sinta Hendra menegaskan bahwa pihaknya telah turut mendampingi proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Jambi dan telah turun ke lokasi secara langsung untuk melakukan pengambilan sampel air tambang untuk dianalisis laboratorium.
“Dari hasil turun lapangan bersama tim Polda kemarin, kami dari DLH bertugas untuk mengambil sampel. Sampel itu sudah diuji dan hasilnya sudah kami serahkan ke Polda Jambi. Kami tidak bisa mengungkapkan hasil uji tersebut karena kami hanya bertindak sebagai pendamping,” ungkap Sinta.
Terkait kerusakan lingkungan dan tata kelola teknis tambang, menurut Sinta, hal itu menjadi kewenangan penuh dari Inspektur Tambang. Misalnya soal keberadaan lubang tambang yang belum ditutup, karena masih dianggap memiliki potensi tambang oleh inspektur.
“Kalau ada genangan air di lubang tambang, kenapa tidak ditutup? Itu sepenuhnya kewenangan teknis Inspektur Tambang. Jika menurut mereka masih ada potensi, maka tidak boleh ditutup dulu,” jelasnya.
Dalam aspek pengelolaan air tambang, Sinta menyebut perusahaan tambang tersebut pada saat dicek ke lokasi telah memiliki empat kolam sedimentasi sebagai bagian dari sistem pengolahan limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan.
Karena air tambang yang bersifat asam akan dinetralkan terlebih dahulu dengan kapur agar pH-nya tidak melampaui ambang batas baku mutu.
“Rata-rata pH air tambang bisa mencapai 4 atau 5, padahal baku mutu yang diperbolehkan adalah antara 6 hingga 9. Oleh karena itu, mereka menggunakan kapur untuk menstabilkan pH sebelum air dibuang ke kolam terakhir,” katanya.
Ia menambahkan, perusahaan tambang juga menggunakan flowmeter untuk mencatat debit dan pH air yang dibuang setiap hari.
Namun, Sinta mengakui keterbatasan DLH Provinsi dalam melakukan pengawasan langsung terhadap perusahaan tambang tersebut akibat regulasi kewenangan yang kini sepenuhnya ditarik ke pusat.
Saat ini, sistem perizinan pengelolaan limbah cair telah berubah dari IPLC (Izin Pembuangan Limbah Cair) menjadi Pertek Air Limbah yang dikeluarkan langsung oleh Kementerian.
“DLH Provinsi hanya bisa melakukan pengawasan terhadap izin yang dikeluarkan oleh provinsi. Jika izinnya diterbitkan kabupaten atau kementerian, maka kami tidak memiliki kewenangan,” jelasnya.
Sementara izin tambang yang terjadi di Koto Boyo diterbitkan oleh Kabupaten.
Ia menambahkan, pengawasan lingkungan sangat tergantung pada siapa yang menerbitkan izin lingkungan, baik itu dokumen Amdal maupun UKL-UPL.
“Siapa yang mengeluarkan izin, maka dia yang punya kewenangan untuk melakukan pengawasan,” ujarnya.
Masjid Raya Tsamaratul Insan Dipadati Ribuan Jemaah dalam Tabligh Akbar Pemprov Jambi |
![]() |
---|
Rapat Monitoring, Gubernur Jambi Laporkan Langkah Cepat Penanganan Karhutla ke Menhut dan BNPB |
![]() |
---|
Gubernur Al Haris Dorong Pengusaha Percepat Bangun SPPG |
![]() |
---|
Ada Aturan Baru Izin Tinggal Orang Asing, Imigrasi Jambi Sosialisaiskan APOA |
![]() |
---|
Kuasa Hukum 8 ASN Pemprov Jambi Tempuh Jalur Hukum, Ungkap Dugaan Pemalsuan Surat Pengunduran Diri |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.