Polemik di Papua

KISAH Perjuangan Perempuan Papua Rebut Kembali Hutan Grime-Nawa dari Tangan Pengusaha Sawit

Di tengah heningnya pedalaman Papua, terdapat sebuah lembah yang menjadi jantung kehidupan bagi masyarakat adat. 

Editor: Darwin Sijabat
Ist
Sejumlah perempuan Papua bersama perwakilan bapak di Kabupaten Jayapura yang memperjuangkan hak mereka  

Polemik di Papua.

TRIBUNJAMBI.COM - Di tengah heningnya pedalaman Papua, terdapat sebuah lembah yang menjadi jantung kehidupan bagi masyarakat adat. 

Lembah Grime-Nawa, yang terletak di Kabupaten Jayapura, adalah rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa, tempat tradisi adat diturunkan dari generasi ke generasi, dan sumber penghidupan utama bagi masyarakat setempat. 

Namun, keindahan alam dan kekayaan tradisi itu, kini terancam oleh kerakusan pihak-pihak yang mengejar keuntungan ekonomi semata.

Ketika suara burung yang biasa menghiasi pagi di lembah itu perlahan menghilang, dan aroma tanah basah berganti dengan bau asap dan suara mesin berat, masyarakat adat menyadari bahwa sesuatu yang sangat berharga sedang direnggut dari mereka. 

Di garis depan perjuangan ini, berdiri perempuan-perempuan adat yang kuat, terutama Rosita Tecuari, pemimpin Organisasi Perempuan Adat Namblong (OPAN). Dengan tekad yang tak tergoyahkan, mereka melawan ancaman terhadap tanah leluhur mereka.

Awal dari Petaka: Izin yang Merampas tanah adat

Tahun 2014 menjadi awal dari krisis ini. Gubernur Papua saat itu mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 01/SK.IUP/KS/2014 yang memberikan Izin Usaha Perkebunan kepada PT Permata Nusa Mandiri (PT PNM). 

Perusahaan ini diberikan akses untuk mengelola area seluas 30.920 hektare, mencakup tanah adat di Lembah Grime-Nawa. Bagi masyarakat adat, keputusan ini bukan hanya sebuah kebijakan yang salah, tetapi juga penghinaan terhadap nilai-nilai adat mereka.

“tanah adat adalah jantung kehidupan kami. Hutan adalah paru-paru kami. Keputusan ini adalah awal dari petaka,” ungkap Rosita Tecuari. 

Baca juga: 3.318 Warga dari Lansia Hingga Ibu Hamil Mengungsi ke Hutan, Karena Militer Masuk ke Papua?

Baca juga: 2 Suku Anak Dalam di Tebo Jambi Meninggal Dunia Setelah Makan Madu Klanceng dari Hutan

Matanya berkaca-kaca ketika menceritakan bagaimana tanah yang telah diwariskan nenek moyang mereka selama berabad-abad, tiba-tiba diambil begitu saja,” katanya kepada Tribun-Papua.com, (15/12/2024).

Proses pemberian izin ini pun penuh dengan pelanggaran. PT PNM tidak melibatkan masyarakat adat secara utuh. Musyawarah adat, yang seharusnya menjadi syarat utama dalam pelepasan tanah adat, tidak pernah dilakukan. 

Sebaliknya, perusahaan hanya mengadakan pertemuan dengan segelintir tokoh tertentu, tanpa melibatkan lembaga adat seperti Iram, Takai, Du Neskingwou, Lum, dan Leng, yang menjadi penjaga tradisi dan pengatur hak atas tanah adat

“Hak kami tidak pernah dihormati. Perusahaan datang seperti pencuri di tengah malam, mengambil apa yang bukan milik mereka,” tambah Rosita dengan nada penuh amarah.

Kerusakan yang Tak Terkendali

Hutan di Lembah Grime-Nawa adalah sumber kehidupan. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi menjadi tempat tinggal burung cenderawasih, tanaman obat tumbuh subur di bawah naungannya, dan sungai-sungai mengalirkan air jernih yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat. 
Namun, semua itu mulai berubah ketika PT PNM memulai aktivitasnya. 

Dalam waktu singkat, lebih dari 100 hektare tanah adat dirusak untuk pembukaan lahan. Pohon-pohon ditebang, sungai tercemar, dan satwa liar kehilangan habitatnya. 

Masyarakat adat, yang bergantung pada hutan untuk kebutuhan sehari-hari, merasa seperti kehilangan bagian dari jiwa mereka.

“Tanpa hutan, kami tidak bisa hidup. Kami mengambil makanan dari hutan, kami mendapatkan obat dari tanaman yang tumbuh di sana. Sekarang, semua itu hilang. Kami merasa seperti kehilangan bagian dari diri kami sendiri,” ungkap seorang perempuan adat lainnya, sambil menunjukkan lokasi yang dulunya dipenuhi pohon sagu, tetapi kini berubah menjadi lahan kosong yang gersang.

Baca juga: Siapa Marten Aikinggin, Komandan KKB Papua Tewas Ditembak Aparat Gabungan di Bintuni

Kerusakan lingkungan ini juga memicu konflik internal di kalangan masyarakat adat. Beberapa mendukung kehadiran perusahaan karena dijanjikan pekerjaan atau kompensasi, meskipun jumlahnya kecil dan bersifat sementara. 

Namun, sebagian besar lainnya menentang dengan tegas, menyadari bahwa apa yang mereka hilangkan jauh lebih besar daripada apa yang mereka terima.

Perempuan Adat sebagai Garda Terdepan

Dalam situasi yang penuh tekanan ini, perempuan adat muncul sebagai pemimpin perjuangan. Mereka bukan hanya penjaga rumah tangga, tetapi juga pelindung tanah leluhur mereka. 

Rosita Tecuari dan Organisasi Perempuan Adat Namblong (ORPA) menjadi simbol perlawanan masyarakat adat di Lembah Grime-Nawa.

“Perempuan memiliki peran besar dalam menjaga hutan. Kami adalah penjaga kehidupan. Kami tahu bahwa jika hutan ini hilang, anak-anak kami tidak akan memiliki masa depan,” kata Rosita dengan tegas. 

ORPA, bersama organisasi lain seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua, bekerja keras untuk mengedukasi masyarakat adat tentang hak-hak mereka. Mereka memberikan pelatihan dan pendampingan agar masyarakat dapat menghadapi ancaman dari perusahaan dengan cara yang lebih efektif.

Maikel Primus Peuki, Direktur Walhi Papua, mengakui keberanian perempuan adat ini. 
“Perempuan adat memiliki kekuatan luar biasa. Mereka berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang dan untuk kelestarian lingkungan.”

Izin Dicabut, Perlawanan Belum Berakhir

Pada tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akhirnya mencabut izin PT PNM sebagai bagian dari kebijakan pencabutan izin kawasan hutan untuk 31 perusahaan di Papua
Namun, keputusan ini tidak sepenuhnya menghentikan aktivitas perusahaan. Di lapangan, PT PNM tetap melanjutkan pembukaan lahan secara ilegal.

“Kami sudah melaporkan mereka ke pihak berwenang, tetapi hingga sekarang, perusahaan masih beroperasi. Ini membuat kami merasa seperti berjuang sendirian,” kata Rosita. 

Baca juga: Komnas HAM Ungkap Ada Masalah Soal Food Estate di Tanah Papua, Prabianto: Potensi Konflik

Bagi masyarakat adat, pencabutan izin hanyalah langkah awal. Perjuangan mereka belum selesai. Mereka menuntut pemulihan tanah yang telah dirusak dan penghentian total aktivitas perusahaan.

Harapan yang Terus Hidup

Meski penuh tantangan, masyarakat adat Lembah Grime-Nawa tetap memiliki harapan. Mereka percaya bahwa hutan mereka dapat diselamatkan jika semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat luas, memberikan dukungan.

“Kami tidak akan menyerah. Hutan ini adalah warisan nenek moyang kami. Kami akan terus berjuang, tidak peduli seberapa sulit jalannya,” tegas Rosita. 

Harapan ini tidak hanya untuk masyarakat adat, tetapi juga untuk dunia. Hutan di Papua adalah paru-paru bumi, yang penting bagi kelangsungan hidup planet ini. Melindungi Lembah Grime-Nawa berarti melindungi masa depan kita bersama.

Ajakan Bertindak

Cerita ini adalah panggilan bagi kita semua. Perjuangan perempuan adat di Lembah Grime-Nawa menunjukkan keberanian dan keteguhan hati yang luar biasa dalam menghadapi ancaman terhadap tanah leluhur mereka. 

Mereka mengajarkan kita pentingnya melindungi lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Jika Anda terinspirasi oleh kisah ini, ada banyak cara untuk membantu. 

Anda dapat menyebarkan cerita mereka, mendukung kampanye perlindungan hutan Papua, atau bahkan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum.

Masa depan Lembah Grime-Nawa adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan bersatu, kita dapat memastikan bahwa hutan ini tetap hidup, bukan hanya untuk masyarakat adat, tetapi juga untuk generasi mendatang. 

“Hutan adalah harapan kami, masa depan kami. Dan kami akan terus mempertahankannya,” kata Rosita, menutup percakapan dengan penuh keyakinan.

Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News

Baca juga: Renungan Harian Kristen 24 Desember 2024 - Kegembiraan Karena Karya Tuhan

Baca juga: Telkomsel Raih Penghargaan Internasional World Communication Awards 2024 Wadahi Inovasi via Polaris

Baca juga: Telkomsel Hadirkan Paket RoaMAX Umroh, Solusi Komunikasi Tanpa Batas Bagi Jemaah di Tanah Suci

Baca juga: Jadwal Puasa Rajab 1446 Hijriah Disertai Tata Cara Mengerjakannya

Artikel ini tayang di Tribun-Papua.com

Sumber: Tribun Papua
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved