Pakar Hukum Nilai Eks Bupati Tanah Bumbu Mardani Maming Tak Layak di Penjara : Putusan Atas Asumsi

Mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming, sejatinya tidak layak dihukum dalam perkara korupsi yang menjeratnya. 

Editor: Suci Rahayu PK
Ist
Eksaminasi hukum yang digelar oleh Center for Law and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menyoroti putusan hukum mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming 

Mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming

TRIBUNJAMBI.COM, Yogyakarta – Mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming, sejatinya tidak layak dihukum dalam perkara korupsi yang menjeratnya. 

Dalam eksaminasi hukum yang digelar oleh Center for Law and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), pakar-pakar hukum terkemuka secara tegas menyatakan bahwa vonis yang dijatuhkan kepada Maming didasarkan pada kesalahan fatal dalam proses peradilan.

Putusan ini, menurut mereka, tidak lebih dari sebuah rekayasa hukum yang dibangun di atas asumsi dan imajinasi jaksa serta hakim, tanpa adanya bukti nyata yang dapat dipertanggungjawabkan.

Eksaminasi hukum yang digelar oleh Center for Law and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menyoroti putusan hukum mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming
Eksaminasi hukum yang digelar oleh Center for Law and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menyoroti putusan hukum mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming (Ist)

Sejumlah ahli hukum terkemuka, seperti Prof Romli Atmasasmita, Prof Yos Johan Utama, dan Prof Topo Santoso, memaparkan sederet kekeliruan dalam penanganan kasus ini. Mereka menegaskan bahwa dakwaan suap yang dilayangkan terhadap Maming adalah tindakan yang terlalu dipaksakan dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Prof Romli Atmasasmita menyebut tidak ada bukti nyata, hanya imajinasi jaksa.

Menurut Prof. Romli Atmasasmita, penerapan Pasal 12 huruf a UU Tipikor dalam kasus Maming adalah sebuah kekeliruan besar. Tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa Maming menerima suap seperti yang dituduhkan jaksa. 

Romli menyebut dakwaan tersebut dibangun hanya berdasarkan asumsi tanpa ada bukti fisik atau saksi yang memperkuat klaim tersebut.

Baca juga: PN Muara Bulian Sepi, Hakim Seluruh Indonesia Cuti Bersama Tuntut Kenaikan Gaji

Baca juga: Barcelona Mendapat Pukulan Telak karena Pemain Bintangnya Cedera, Bakal Absen Selama 3 Minggu

“Putusan ini hanyalah konstruksi hukum yang dibangun dari imajinasi jaksa, bukan bukti nyata di lapangan. Tidak ada bukti kuat yang menunjukkan Maming terlibat dalam tindak pidana korupsi. Ini adalah kekhilafan hakim yang sangat mencolok,” tegas Romli.

Lebih lanjut, Romli juga menyoroti penggunaan Pasal 18 UU Tipikor terkait penyitaan barang yang dianggap sebagai hasil suap. Menurutnya, penerapan pasal ini tidak sesuai, karena jika tidak ada bukti kerugian negara, maka barang yang disita seharusnya dikembalikan kepada pemberi, bukan kepada negara.

Prof. Yos Johan Utama: “Tidak Ada Kerugian Negara, Mengapa Maming Harus Dihukum?”

Senada dengan Romli, Prof. Yos Johan Utama menyoroti tidak adanya bukti kerugian negara dalam perkara ini. Yos menegaskan, tindak pidana korupsi seharusnya terbukti merugikan keuangan negara, namun dalam kasus Maming, tidak ada audit yang menunjukkan kerugian negara akibat tindakan yang dituduhkan kepadanya.

“Jika tidak ada kerugian negara, untuk apa Maming harus dipenjara? Putusan ini adalah bentuk kezaliman hukum yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar keadilan,” ujar Yos.

Ia juga menambahkan bahwa vonis terhadap Maming adalah bukti nyata dari penerapan hukum yang tidak adil dan penuh dengan asumsi yang tidak didukung oleh bukti kuat.

Prof. Topo Santoso: “Izin Usaha Pertambangan Sah, Tidak Ada Penyalahgunaan Wewenang”

Dalam analisisnya, Prof. Topo Santoso menekankan bahwa tindakan Maming dalam mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah sah dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pengalihan IUP yang dilakukan Maming sebagai Bupati Tanah Bumbu merupakan bagian dari kewenangannya, dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum.

“Maming mengeluarkan izin sesuai dengan kewenangannya sebagai bupati. Semua prosedur diikuti dengan benar, dan tidak ada bukti penyalahgunaan wewenang. Ini adalah bukti bahwa dakwaan suap yang dialamatkan kepadanya tidak berdasar,” tegas Topo.

Lebih jauh, Topo juga mengkritisi narasi "kesepakatan diam-diam" yang dibangun oleh jaksa sebagai bukti suap. “Tidak ada istilah kesepakatan diam-diam dalam hukum pidana. Ini hanyalah asumsi yang dibuat jaksa tanpa dasar hukum yang jelas,” tambahnya.

Baca juga: Rekonstruksi Meninggalnya Tahanan di Sel Polsek Kumpeh Ilir, Rekon di Polsek Sei Gelam Muaro Jambi

Baca juga: Disabet Ekor Ikan Pari, Pembunuhan Juru Parkir di Medan oleh Satu Keluarga

Baca juga: 13.200 Orang Dapatkan Pemeriksaan Kesehatan Gratis BRI Peduli di Berbagai Wilayah di Indonesia

Putusan Berdasarkan Imajinasi, Bukan Bukti

Secara keseluruhan, para ahli hukum dalam diskusi eksaminasi ini menyimpulkan bahwa vonis terhadap Mardani Maming adalah hasil dari kesalahan penafsiran hukum yang serius. Tidak ada bukti kuat yang mendukung dakwaan suap, dan seluruh konstruksi kasus ini didasarkan pada asumsi dan imajinasi jaksa serta hakim. 

Bahkan, langkah-langkah yang diambil Maming selama menjadi Bupati Tanah Bumbu, terutama terkait perizinan tambang, sudah sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya dan tidak melanggar hukum.

Kekhilafan Hakim yang Nyata: Haruskah Maming Dipenjara?

Putusan kasasi yang tetap memvonis Mardani H. Maming secara jelas menunjukkan adanya kekhilafan yang nyata di pihak majelis hakim. Kesimpulan yang diambil tidak didasarkan pada bukti yang sahih, tetapi pada interpretasi hukum yang keliru dan terburu-buru. 

Kesalahan ini tidak hanya berdampak pada Maming, tetapi juga mencerminkan bagaimana sistem hukum kita masih rentan terhadap kesalahan dalam menegakkan keadilan.

“Jika hukum hanya ditegakkan berdasarkan asumsi, bukan bukti, maka keadilan akan menjadi korban. Maming adalah contoh nyata bagaimana sistem hukum bisa salah dalam menjatuhkan vonis,” ujar Prof. Romli menutup argumennya.

Peninjauan Kembali Wajib Dilakukan

Melihat serangkaian kesalahan dalam proses hukum ini, para pakar hukum sepakat bahwa Peninjauan Kembali (PK) harus segera dilakukan untuk memperbaiki kesalahan fatal ini.

Maming tidak bersalah, dan ia tidak layak mendekam di penjara atas tuduhan yang dibangun di atas imajinasi, bukan bukti.

Kesimpulannya, vonis yang dijatuhkan kepada Mardani H. Maming adalah bentuk ketidakadilan yang harus segera dikoreksi. Jika keadilan ingin ditegakkan, putusan ini harus dibatalkan, dan Maming harus dibebaskan dari segala tuntutan.

Baca juga: Belasan Tahun Jadi Honorer di RSUD Raden Mattaher Jambi Tak Masuk Database BKN, Ini Penjelasannya

Baca juga: 13.200 Orang Dapatkan Pemeriksaan Kesehatan Gratis BRI Peduli di Berbagai Wilayah di Indonesia

Kasus Mardani Maming

Diketahui, pengadilan tingkat pertama sedianya telah memvonis Mardani Maming bersalah dan harus menjalani kehidupan di bui selama 10 tahun, serta denda Rp500 juta.

Mantan Ketua Himpunan pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini, terbukti menerima suap atas penerbitan SK Pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN). Itu dilakukan saat Mardani Maming menjabat Bupati Tanah Bumbu.

Majelis hakim yang diketuai Heru Kuntjoro juga mengatakan pidana tambahan membayar ganti kerugian negara sebesar Rp110,6 miliar dengan ketentuan, jika tidak membayar maka harta bendanya akan disita dan dilelang, atau diganti dengan 2 tahun kurungan.

Tak puas dengan putusan Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Mardani Maming mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin. Majelis hakim yang dipimpin Gusrizal justru menambah hukuman penjara Mardani menjadi 12 tahun.

Masih tak terima, Mardani Maming mengajukan kasasi ke MA. Hakim Agung Suhadi didampingi Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Suharto, tegas menolak kasasi tersebut.

Selain itu, majelis hakim MA menghukum Mardani Maming harus membayar uang pengganti Rp110.604.371.752 (Rp110,6 miliar) subsider 4 tahun penjara.

Kemudian Mardani Maming mendaftarkan PK pada 6 Juni 2024. PK yang diajukan Mardani H Maming bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2004.

Dalam ikhtisar proses perkara itu disebutkan Majelis Hakim yang memimpin Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming ialah Ketua Majelis DR. H. Sunarto, SH. MH, Anggota Majelis 1 H. Ansori, SH, MH dan Anggota Majelis 2 Dr. PRIM Haryadi, S, M.H.

Sementara Panitera Pengganti dalam proses Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming ialah Dodik Setyo Wijayanto, S.H.

 


Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News

Baca juga: Honorer RSUD Raden Mattaher Jambi Tutut Penyetaraan Honorer BLUD sama dengan Honorer APBD

Baca juga: PN Muara Bulian Sepi, Hakim Seluruh Indonesia Cuti Bersama Tuntut Kenaikan Gaji

Baca juga: Rekonstruksi Meninggalnya Tahanan di Sel Polsek Kumpeh Ilir, Rekon di Polsek Sei Gelam Muaro Jambi

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved