WAWANCARA EKSKLUSIF

Dari Desa hingga Jadi Profesor, Bincang Bareng Rektor Universitas Jambi, Prof Helmi, Seri I

Hingga akhirnya dekan mengultimatum, jika tidak melanjutkan pendidikan maka harus mengundurkan diri. Jadi saya bilang, mana suratnya saya tanda tangan

Penulis: tribunjambi | Editor: Duanto AS
TRIBUN JAMBI
Rektor Universitas Jambi, Prof Helmi (kanan), berbincang dengan Manajer Produksi Tribun Jambi, Duanto AS, di Studio Tribunjambi.com, beberapa waktu lalu. 

UNIVERSITAS Jambi (Unja) telah memiliki rektor baru. Profesor Helmi terpilih mengantikan Profesor Sutrisno, untuk memimpin universitas oranye itu selama empat tahun ke depan.

Pemilihan Rektor Unja selesai digelar pada 23 November 2023 lalu. Setelah itu, pelantikan oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi diwakilkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbudristek, Suharti, di Jakarta pada 31 Januari 2024 lalu.

Setelah beberapa hari menjabat, Profesor Helmi yang merupakan guru besar ilmu hukum itu menyempatkan mengunjungi Tribun Jambi.

Di Studio Tribunjambi.com, Prof Helmi menceritakan masa kecil, sekolah, aktivitas dengan jaringan pergerakan hingga akhirnya menjabat Rektor Unja.

Bagaimana perjalanan Prof Helmi, dari masa kecil di desa di Sumatra Selatan hingga menjadi menjadi Rektor Unja?

Berikut petikan wawancara Prof Helmi bersama Manajer Produksi Tribun Jambi, Duanto AS.

Prof Helmi, ada yang menarik dari proses pemilihan rektor kemarin?

Alhamdulilah proses sudah berakhir, mulai dari pendaftaran hingga pemilihan terakhir, 23 November 2023 kemarin.

Proses berlangsung dengan baik dan berkomunikasi dengan baik. Secara umum prosesnya berjalan dengan damai, hiruk pikuknya berkurang.

Setelah terpilih, saya coba berdiskusi dengan Prof Sutrisno, rektor sebelumnya. Jelang pemilihan kita juga masih bertemu.

Saya asumsikan pemilihan rektor Unja kali ini berlangsung dengan humanis, tidak ada hal yang mengganjal dan terjadi gesekan.

Karena Unja ini milik bersama, bukan miliki kelompok tertentu. Itu yang saya sampaikan ke sesepuh dan guru besar Unja.

Prof ini kan terkenal dengan nama Helmi Ganta, apalagi di sosial media. Tapi saya lihat di web Unja, ternyata namanya hanya Helmi, singkat sekali. Itu gimana ceritanya, Prof?

Saya ini juga banyak beraktivitas di medsos dan aktif di Instagram dan Facebook.

Nah, akun saya itu namanya Helmi Ganta.

Helmi itu nama saya dan Ganta itu nama anak laki-laki saya.

Jadi anak pertama saya itu perempuan dan waktu itu anak kedua, saya berharap laki-laki, ternyata dikabulkan Allah.

Ganta itu kalau di kampung saya (Komering, Sumatra Selatan) artinya sekarang.

Anak laki-laki saya itu namanya Yada Ganta, diambil dari Bahasa Komering yang artinya iya betul sekarang.

Maksudnya, sekarang ini saya dapat anak laki-laki.

Kenapa saya tambah Ganta di sosmed, karena nama saya itu hanya satu kata. Kalau di sosmed itu ada yang harus dua kata, jadi saya gunakan nama Ganta.

Sekarang, banyak yang tahu saya Helmi Ganta, bahkan ada yang mengirim papan ucapan (saat pelantikan rektor) dengan nama Helmi Ganta.

Bahkan keluarga saya saat mengenalkan saya ke temannya mengunakan nama Helmi Ganta.

Prof, perjalanan masa kecilnya seperti apa? Bagaimana bisa sampai ke Jambi dan menjadi akademisi hukum?

Saya itu asli Komering, dari Desa Campang Tiga. Desa ini termasuk pelosok di Sumsel, sekitar 125 kilometer dari Palembang.

Keluarga saya petani.

Saya SD di sana, sampai 1984. Karena bapak kerja di Jambi, jadi kami hijrah ke Jambi selepas SD.

Saat SMP, saya bersekolah di Yayasan Sembilan Lurah (Semilu) Jambi, sedangkan SMA di SMA DB 3 Jambi.

Selesai sekolah di 1990 dan saya mendaftar ke fakultas hukum.

Awalnya saya tidak mau kuliah, inginnya jadi tentara.

Nah, ini yang jadi pertanyaan saya dari dulu. Di zaman itu, anak-anak berpikiran ingin jadi dokter, polisi dan tentara, sementara profesor malah milih jadi akademisi?

Ya, saya ingin jadi tentara karena keluarga banyak yang jadi tentara. Tapi Allah punya jalan lain.

Paman saya, Prof Senin Mahmud, yang meminta saya kuliah. Karena dia dosen di fakultas ekonomi, saya diminta kuliah di hukum.

Waktu kuliah, saya mendapatkan beasiswa ikatan dinas. Tahun 1998, SK dosen saya keluar.

Ini pengalaman hidup buat saya, ketika saya menjadi dosen, bertepatan dengan reformasi dan berteman dengan aktivis 98.

Menarik itu, seperti apa, Prof?

Dari 1999-2006, saya banyak bergerak di NGO (non goverment organization) dan banyak berkomunikasi dengan teman-teman wartawan dan aktivis, sehingga malas untuk melanjutkan pendidikan.

Hingga akhirnya, saya dipanggil pihak kampus (dekan) untuk melanjutkan pendidikan S-2.

Saat itu saya asyik dengan dunia NGO ini, sehingga saya merasa tidak perlu sekolah lagi.

Menurut saya saat itu, percuma sekolah kalau hanya di kampus. Jadi sejak 1999-2006 itu, saya bersama masyarakat dan menjadi orang yang menurut saya punya hati untuk masyarakat.

Hingga akhirnya dekan mengultimatum, jika tidak melanjutkan pendidikan maka harus mengundurkan diri.

Jadi saya bilang, mana suratnya saya tanda tangani sekarang.

Namun, dekan saat itu mengatakan jangan sekarang, tapi pikirkan dulu dan datang kembali satu minggu lagi.

Pas di depan pintu, saat mau pulang, dekan saya bilang, kuliah ini untuk anak istri, saat itu juga saya putuskan untuk melanjutkan pendidikan saya.

Saya bilang ke dekan, saya akan sekolah, tempatnya terserah saja.

Dia bilang saya melanjutkan di Unpad (Universitas Padjadjaran) di Bandung.

Tahun 2006, saya masuk Unad, hanya 1-2 tahun saya sudah selesai S-2.

Saat kuliah tersebut, saya sempat insomnia bahkan sampai pagi.

Di Bandung itu, enam bulan saya tidak bisa tidur. Mungkin karena hati saya menolak.

Ternyata akhirnya saya kecanduan.

Pada saat bimbingan tesis, saya langsung direkomendasi pembimbing tesis untuk langsung melanjutkan S-3.

Saat itu belum ujian tesis, baru mendapatkan jadwal ujian.

Saya langsung disuruh menghadap direktur agar mendapatkan kompensasi, karena ujian saya setelah pendaftaran S-3 tutup.

Ternyata, direktur pascasarjana waktu itu mengizinkan dan saya langsung mengurus surat perpanjangan belajar. S-3 saya selesaikan selama 2 tahun 7 bukan.

Selama kuliah, keluarga saya bawa, sejak 2006 itu.

Total, saya menyelesaikan pendidikan S-2 dan S-3 selama 4 tahun 4 bulan.

Setelah itu bagaimana karier di Unja?

Saya sempat menjadi ketua program S-2, notaris, wakil dekan, tahun 2017-2021 dekan fakultas hukum.

Desember 2022 mendapatkan gelar guru besar di bidang hukum.

Akhirnya, saat ini, saya menjadi Rektor Unja.

Saya tidak pernah membayangkan ada di posisi ini.

Ini banyak tantangannya dan cukup berat. InsyaAllah ke depan Unja lebih baik. (yon rinaldi)

Baca juga: Tambang dan Alih Fungsi Lahan Akibatkan Banjir di Kerinci, Warga Waswas Banjir Dahsyat dan Lama

Baca juga: Kepala Seperti Ular Kobra, Harga Ikan Chana Puluhan Ribu hingga Jutaan Rupiah

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved