LIPUTAN KHUSUS

Makan Beras yang Hanyut di Sungai, Kisah Guru di Daerah Terpencil Sarolangun dan Batanghari Seri 2

Dalam suatu perjalanan, dia pernah tidur di Terminal Pasar Atas Sarolangun bersama keluarganya. Ketika itu Zamri ketinggalan tumpangan ketek menuju

Penulis: tribunjambi | Editor: Duanto AS
TRIBUN JAMBI/SRITUTI APRILIANI
Siswa sebuah sekolah di Batanghari sedang belajar di kelas. 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Semua bahan makanan, termasuk beras jatah yang dibawa guru Zamri hanyut dan basah setelah ketek tujuan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, karam di sungai.

Akhirnya, setelah menjemurnya, beras itu menjadi makanan keluarganya.

Cerita itu dibagikan Zamri, satu di antara guru yang mengajar di daerah terpencil di Provinsi Jambi.

Sejak diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 1986, Zamri, guru asal Kabupaten Kerinci, merantau ke Sarolangun ( kisah guru ).

Dia mengajar di wilayah Kecamatan Batang Asai, di SDN Nomor 147 yang kini namanya SDN 156 Desa Padang Jering, Kecamatan Batang Asai.

"Kala itu, perjalanan dari Kabupaten Kerinci menuju hulu Sungai Batang Asai tidaklah mudah," ujarnya, Jumat (24/11).

Zamri menyimpan banyak cerita selama pengabdian 37 tahun.

Zamri, guru SDN 156 Desa Padang Jering, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun
Zamri, guru SDN 156 Desa Padang Jering, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, bersama anak didiknya


Saat pertama kali masuk daerah Batang Asai, tidak ada jalan darat.

Tidak ada lampu penerangan.

Transportasi harus lewat sungai, menggunakan ketek.

Untuk ke sana, Zamri menyusuri arus hulu Sungai Batang Asai dari Pelabuhan Berau, Kecamatan Cermin Nan Gedang.

"Karena jalan darat dari Sarolangun menuju Batang Asai baru pada 1991 dibuka oleh pemerintah," tuturnya.

Dalam suatu perjalanan, dia pernah tidur di Terminal Pasar Atas Sarolangun bersama keluarganya.

Ketika itu Zamri ketinggalan tumpangan ketek menuju Batang Asai, karena sudah kesorean.

Ketek Karam

Tahun pertama diangkat jadi guru, Zamri mendapat gaji Rp44 ribu sebulan, ditambah beras jatah.

Termasuk penghasilan yang relatif rendah kala itu.

Untuk mencukupi kebutuhan keluarga selama menjadi guru di sana, Zamri memanfaatkan lahan di sekitar rumah dinasnya.

Mereka bercocok tanam sayuran dan beternak ayam kampung.

"Memang tidak mudah perjuangan saat itu, dengan gaji Rp44 ribu sebulan, ditambah beras jatah dari pemerintah yang setiap bulan diambil ke pusat Kota Sarolangun waktu itu," kata Zamri.

"Saya pernah karam naik ketek saat hendak ke Batang Asai, semua bahan makan hanyut dan basah. Beras jatah dari pemerintah yang sudah basah akibat karam, saya jemur lagi dan itulah menjadi makanan kami sekeluarga waktu itu," kata Zamri dengan lirih.

Meski banyak cerita pilu selama menjadi guru di daerah terpencil, dia tidak pernah meminta untuk dipindahkan ke daerah asalnya, Kabupaten Kerinci.

Dia berniat menghabiskan masa pensiunnya yang jatuh pada akhir 2023, di Desa Padang Jering, Batang Asai.

Bagi Zamri, Desa Padang Jering bagaikan tanah kelahirannya.

"Desa ini saya anggap kampung saya sendiri, sampai saya sudah memiliki empat orang anak, dua orang di antaranya asli kelahiran di Desa Padang Jering. Dengan kebanggaan hati, anak saya yang ketiga kelahiran di Desa Padang Jering, sekarang lagi menyelesaikan studi perguruan tingginya di Eropa, negara Polandia," ujarnya.

Selama tinggal dan menetap di Desa Padang Jering, banyak pengalaman dan keluarga yang tidak bisa dilupakannya.

"Desa ini saya anggap sebagai daerah saya sendiri. Di sini saya banyak diajarkan pengalaman dan pengabdian, saya banyak punya keluarga, dengan keramahan, kental adat istiadat masyarakat di sini. Saya begitu cinta dengan daerah ini, sampai kapan pun daerah ini tetap terkenang di hidupku dan keluargaku," ungkapnya.

"Semoga hubungan kekeluargaan dan silaturahmi dengan masyarakat Desa Padang Jering tetap terjaga, aku dan keluargaku pasti merindukan Desa ini," tuturnya.

Guru Inspiratif

Cerita lain tentang perjuangan guru muncul dari Kabupaten Batanghari.

Mengabdi selama 21 tahun menjadi seorang guru, merupakan tantangan luar biasa bagi Titien Suprihatien.

Guru mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) di SMPN 11 Batanghari itu menerapkan pola pembelajaran menyenangkan dengan metode praktik bagi peserta didik.

"Saya mengajarkan IPA itu tidak tidak sekadar teori, menjelaskan soal-soal atau hanya ceramah. Tetapi saya langsung mengajarkan IPA itu sebagaimana IPA itu ditemukan, sesuai dengan roh asli IPA, yaitu penelitian ilmiah. Jadi saya mengembangkan pembelajaran yang kontekstual dan anak-anak benar-benar belajar di laboratorium dan melakukan praktikum," jelas Titien.

Metodologi Kreatif

Bagi Titien, menjadi seorang guru bukan sekadar mengajarkan mata pelajaran atau ilmu pengetahuan saja.

Menurut Titien, di zaman yang modern, peserta didik mampu mendapatkan ilmu pengetahuan dari mana saja.

Dan sosok guru lah yang menjadi model bagi para siswa untuk ditiru dan dicontoh.

"Siswa saat ini butuh guru-guru yang benar-benar bisa menjadi model dari segala kebaikan. Bukan hanya pembelajaran, tetapi lebih jauh lebih itu. Siswa kita butuh guru yang bisa mengayomi siswanya, yang mengajar dengan hati. Dia memberikan respons yang baik kepada siswanya dan tangguh juga," kata Titien.

Selain memberikan inspirasi bagi siswa, Titien aktif memberikan contoh metode pembelajaran yang menyenangkan di akun YouTube dan sosial medianya.

Titien Suprihatien SMPN 11 Batanghari, Kabupaten Batanghari.
Titien Suprihatien SMPN 11 Batanghari, Kabupaten Batanghari.


"Bagi saya guru itu nggak punya alasan tidak ada alat peraga, tidak punya dana. Semuanya bisa kita atasi. Saya banyak memanfaatkan limbah barang-barang bekas untuk didesain menjadi alat peraga," ujarnya.

Titien mengatakan, guru tidak hanya menjadi contoh di sekolah saja, tapi juga bisa menjadi figur yang dilihat dan di contoh diluar sekolah.

Mengabdikan diri selama 21 tahun, ia mengatakan sudah banyak kurikulum mengajar yang coba diterapkan, baginya perubahan metode tersebut bukanlah masalah.

Ia mengatakan bahwa guru harus mau terus belajar, karena ilmu pengetahuan terus berkembang.

"Pergantian kurikulum bagi saya itu hal yang wajar, karena nggak mungkin Indonesia kurikulumnya masih kurikulum yang dahulu. Karena pendidikan terus berkembang, yang tidak wajar adalah guru-guru yang tidak mau beradaptasi dengan perubahan kurikulum," ujarnya.

Karya dan Fasilitator

Selain mengajar, Titien saat ini juga menjadi Fasilitator pada Program PINTAR Tanoto Foundation.

Tidak hanya itu, Titien juga aktif menghasilkan karya-karya tulisan. Setidaknya hingga saat ini sudah ada 10 buku karyanya yang diterbitkan.

Pada momen hari guru ini, Titien mengajak seluruh guru di Indonesia untuk jangan pernah berhenti belajar dan meningkatkan kompetensinya.

"Siswa sekarang bisa mendapatkan ilmu di handphone, tapi siswa butuh figur sosok guru yang benar-benar bisa mereka tiru. Jadi guru harus menjadi model dari segala kebaikan dan guru tidak hanya ketika dia ada di depan kelas. Guru di mana pun berada, guru harus menjadi guru. Baik di dunia nyata di dunia maya di, didalam kehidupan sosial yang lain guru tetap harus guru," pungkasnya. (cbi/cut)

Baca juga: Bertaruh Nyawa Demi Anak Didik, Kisah Guru di Daerah Terpencil Tanjab Barat dan Tanjab Timur Seri 1

Baca juga: Kisah Istri Capres, Siti Atiqoh dan Jurus Jaga Kondisi Ganjar Pranowo

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved