Jejak Mantan Gubernur Jambi Djamaluddin Tambunan dan Jambi Yang Menanti Jamahan

Tidak banyak pejabat, apatah lagi setingkat Gubernur, menulis buku. Dari yang sedikit itu saya membaca buku berjudul Jambi Yang Menanti Jamahan karya

|
Editor: Deddy Rachmawan
zoom-inlihat foto Jejak Mantan Gubernur Jambi Djamaluddin Tambunan dan Jambi Yang Menanti Jamahan
IST
Jumardi Putra, budayawan dan pegiat sejarah Jambi

Oleh: Jumardi Putra*

Tidak banyak pejabat, apatah lagi setingkat Gubernur, menulis buku. Dari yang sedikit itu saya membaca buku berjudul Jambi Yang Menanti Jamahan karya Gubernur Jambi, Djamaluddin Tambunan berangka tahun 1979. Buku setebal 364 halaman ini berisikan dinamika pembangunan daerah Jambi di bawah kepemimpinannya selama periode 1974-1979 sektor ekonomi, sosial budaya, agama, pembangunan wilayah, politik, pemerintahan dan ketertiban Umum. 


Buku karya pria kelahiran 4 Februari 1922 ini boleh dikata kaya data dan bersifat umum. Selain minus analisis, buka ini juga terasa garing dikarenakan tidak ditulis laiaknya esai populer.

Akan tetapi, buku ini boleh disebut tradisi baru bagi seorang kepala daerah era 70an, dan tentu saja penting bagi peneliti melakukan pendalaman, seperti harapan Djamaluddin dalam pengantarnya. 

Pada bagian pendahuluan buku tersebut saya menangkap kekaguman sekaligus kegelisahan mendalam seorang Djamaluddin Tambunan melihat kenyataan objektif daerah Jambi. Belum lagi sebagai daerah yang telah lama terlibat dalam hubungan internasional melalui perdagangan. Puncaknya, Jambi sekira 1930 an pernah mengalami zaman keemasan yang ditandai dengan "Zaman Coupon".

Salah satu bukti yang mungkin luput oleh umumnya warga Indonesia sekarang yaitu sumbangan karet rakyat dalam penyediaan devisa, pembelian senjata dan mesiu, pembelian 4 buah pesawat Dakota pada Agustus 1948 seharga 1.500 ton karet kering sebagai sumbangan rakyat Jambi serta pemberangkatan Diplomat pertama ke PBB dalam rangkaian penembusan blokade diplomatik.  

Dalam kaca mata Djamaluddin Tambunan yaitu karet sebagai penghasilan utama masyarakat provinsi Jambi berada dalam keadaan pelik akibat kecenderungan merosotnya harga di pasaran sejak tahun 1950-an. Di samping itu juga dibarengi semakin buruknya kultur di ranah perkebunan dan semakin kompleksnya tata niaga hasil hutan maupun perkebunan.  

Menurutnya Jambi tidak saja lepas dari jangkauan dan gapaian dari daerah lain, tapi juga akan tersudut karena kemiskinan warganya masa itu. Kondisi demikian itu dalam pandanganya membawa implikasi yang amat luas seperti ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan. 

Baca juga: DPRD Sarankan Gubernur Jambi Bentuk BUMD untuk Menarik PAD dari SKK Migas

Periode 1974-1979 sebagai medan kerja Djamaluddin Tambunan selaku Gubernur Jambi bersamaan dengan upaya serius rezim pembangunisme Orde Baru yaitu ketika lingkungan atau sumber daya alam ditarik masuk lebih jauh ke dalam agenda ekonomi politik global. Itu kenapa penanaman modal dan kehadiran Bank Dunia, misalnya pada program PELITA di daerah-daerah di tanah air terus digenjot. Dan, Jambi adalah salah satu daerah yang menjadi lapangan pelaksanaan program pemerintah pusat saat itu. 

Makna "Jamahan" seperti judul buku Djamaluddin Tambunan pun menemukan titik relevansi sekaligus memberi kesempatan kepada kita generasi setelahnya mencermati dinamika pembangunan di Jambi kurun waktu 1974-1979 sebagai bagian integral dari kebijakan secara nasional.

Baca juga: Profil Abdul Manap, Pejabat Gubernur Jambi di Masa Sulit, Pernah Panggil Nurdin Hamzah Saat Rapat

Kemudian, menjadi penting pula kita mencermati ekses yang ditimbulkannya, di luar keberhasilan-keberhasilan yang dieufemismekan dengan atas nama mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain di Indonesia. Bukan hal aneh pula bila kesuksesan program pemerintah pusat melalui program Pelita II di Jambi termuat jelas dalam buku ini . Dalam buku ini, merujuk hasil penelitian perhitungan pendapatan regional di Indonesia 1968-1976 dari kelompok pendapatan regional Indonesia, 1978, Provinsi Jambi termasuk dalam kelompok Provinsi-provinsi maju di Indonesia dengan pendapatan per kapita lebih besar dan pertumbuhan lebih tinggi dari pada rata-rata Nasional.

Begitu juga pendapatan per kapita Daerah Jambi atas dasar harga berlaku dalam tahun 1976 menempati urutan ketujuh di Indonesia yaitu sebesar Rp.128.148 dan urutan kedua di Sumatera setelah Riau (termasuk minyak ). Urutan ketiga di Sumatera tanpa minyak bumi setelah Riau dan Sumatera Selatan. Begitu juga tanpa minyak pendapatan per kapita Daerah Jambi atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 121.935 berada pada urutan ketujuh di Indonesia. 

Pertanyaan segera muncul, bagaimana pengaruhnya terhadap Pembangunan Provinsi Jambi dewasa ini, jauh setelah Djamaluddin Tambunan berupaya keras agar Jambi segera “dijamah” selama periode 1974-1979 sehingga Jambi benar-benar tidak tertinggal (lagi) dibandingkan daerah-daerah lainnya di pulau Sumatra dan Indonesia ? Pertanyaan yang tidak mudah ini tentu belum dapat dibentangkan dalam kesempatan ini. 

*Penulis adalah pegiat budaya dan sejarah. Tulisan-tulisan Penulis tentang pelbagai topik dapat diakses melalui kanal: www.jumardiputra.com

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved