Pengelolaan SDA Jambi

Catatan Akhir Tahun: Pengelolaan Sumber Daya Alam Jambi Menyisakan Banyak Masalah

Catatan Akhir Tahun Walhi Jambi dan KKI Warsi, Pengelolaan Sumber Daya Alam Jambi Menyisakan Banyak Masalah, termasuk batu bara.

Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
Tribunjambi/Samsul Bahri
Stopel batubara yang berada di seberang Sungai Batanghari. Pengelolaan SDA di Jambi, termasuk batu bara, menyisakan banyak persoalan yang perlu segera dituntaskan. 

TRIBUNJAMBI.COM - Provinsi Jambi memiliki wilayah seluas 5,016 juta hektare. Hampir seperempat luas wilayah Jambi telah dikuasai industri ekstraktif, yakni seluas 1,223 juta hektare.

Pemerintah memberikan penguasaan kepada pengusaha untuk areal 18 kali luas DKI Jakarta itu, dalam bentuk izin perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, tambang batu bara, hutan tanaman industri, dan aneka bisnis lainnya.

Data KKI Warsi, luas wilayah Jambi yang terbuka akibat tambang batu bara mencapai 45.896 hektare tahun ini, paling banyak di Kabupaten Merangin dan Sarolangun.

Akibat terbukanya areal ini, diperkirakan telah membuat Jambi kehilangan stok karbon 18,35 juta ton, atau setara kehilangan potensi pendapatan Rp 1,37 triliun dari Bio Carbon Fund Integrated Sustainable Forest Landscape.

"Itu wilayah yang tahun lalu dominan masih memiliki tutupan yang bagus,dan pada tahun ini berdasarkan hasil citra satelit yang kami lakukan, sudah terbuka akibat aktivitas batu bara," kata Rudi Syaf Senior Advisor KKI Warsi, Selasa (20/12/2022).

Dia menyebut, potensi makin luasnya wilayah Jambi yang terbuka akibat pertambangan, baik yang legal maupun ilegal, masih sangat tinggi di tahun 2023 ini. Pembukaan lahan, mayoritas dilakukan oleh perusahaan, disusul para cukong atau pemodal tambang emas ilegal.

Warsi menilai banyak masalah yang timbul pada pengeloaan sumber daya alam di Jambi, baik bagi ekosistem maupun untuk masyarakat. Maka dianggap perlu dilakukan penataan dan pengawasan yang serius, danb solusi konkrit terlebih untuk wilayah yang sudah rusak parah.

Pihaknya sudah mengujicoba upaya mengajak dan membina warga di Bukit Bulan, dari penambang ilegal menjadi petani kakao.

"Ada 27 orang petani yang menghentikan kegiatan ilegal, yang merusak ekosistem, kini kembali berladang dengan komoditi bernilai tinggi, yaitu kakao," kata Rudi. Dia bilang, tanaman Kakao membuuthkan naungan, sehingga para petani akan juga menjaga supaya hutannya tidak dibabat.

Sementara Walhi Jambi menyoroti langkah pemerintah yang akan melakukan pengembangan food estate. Pemerintah dianggap seolah tidak berkaca dari izin yang dikeluarkan sebelumnya, yang mewarisi konflik sumberdaya alam yang sampai saat ini masih dialami masyarakat Jambi.

"Kemudian, food estate dijadikan rencana strategis dalam pengembangan sektor pertanian. Ini merupakan bentuk dari monopoli kapitalisme yang sembunyi dibalik ketahanan pangan. Ini akan menghadirkan konflik-konflik sumber daya alam yang baru, dan masyarakat akan kehilangan akses kelola," ungkap Abdullah, Direktur Walhi Eksekutif Daerah Jambi.

Berdasarkan catatan dari Walhi Jambi, hingga saat ini Provinsi Jambi adalah Provinsi dengan konflik agraria tertinggi ke-2 sdi Indonesia. Konflik agraria yang belum diselesaikan mencapai 180 konflik.

"Aktor utamanya adalah Perusahaan ekstraktif [sawit, tambang dan HTI," ungkapnya, dalam penyampaian catatan akhir tahun, Jumat (30/12/2022).

Pihaknya juga menyoroti wilayah kelola rakyat dalam bentuk perhutanan sosial yang tak sebanding dengan izin yang diberikan untuk perusahaan.

Abdullah mengatakan hanya 215.969.92 Ha yang dikeluarkan pemerintah untuk perbutanan sosial melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.

"Tentu luasan itu sangat tidak sebanding dengan luasan wilayah korporasi yang jika dikalkulasikan seluruh sektor luasnya mencapai 1.223.737,24 Ha diberikan oleh
pemerintah untuk industri ekstraktif di Provinsi Jambi," ungkapnya.

Pandangan Walhi, seharusnya penguasaan harus berimbang, antara perhutanan sosial dengan izin konsesi perusahaan. Secara dampak, Abdullah meyakini Perhutanan Sosial akan memberi kesejahteraan bagi masyarakat, dan kelestarian di sektor lingkungan. "Selama ini sudah terbukti bahwa izin yang diberi ke perusahaan tidak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat," ungkapnya.

Terkait pertambangan batu bara, dia mengatakan Provinsi Jambi memiliki banyak potensi cadangan batubara yang mencapai 1,52 miliar ton. Sebaran potensi berada pada 7 dari 11 kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

Namun dari sisi administrasi saja, banyak pelanggaran yang sudah ditemukan, apalagi nanti dalam pelaksanaan eksploitasi."Data BPK dalam LHP Tahun 2020, ada 125 Izin
Usaha Pertambangan (IUP) batubara yang telah diterbitkan dengan total luas wilayah IUP 213.097 ha, di antaranya 117 izin operasi produksi," tuturnya.

Masih bersumber dari Laporan BPK Tahun 2020, ungkapnya, dari 125 IUP itu, ada 39 perusahaan yang tidak setorkan jaminan reklamasi, dan 59 Perusahaan tidak memberikan jaminan pasca tambang.

"Ini membuktikan tidak ada jaminan tanggung jawab perusahaan terhadap kerusakan lingkungan yang telah ditimbulkan," ungkapnya.

Walhi meminta adanya komitmen Pemerintah Provinsi Jambi untuk melindungi dan mengutamakan keselamatan rakyat serta lingkungan hidup yang baik dan sehat.

"Juga melakukan evaluasi dan menindak tegas perusahaan dan oknum perusak lingkungan di sektor industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, dan HTI," kata Abdullah. (*)

Baca juga: Orang Rimba Tewas Ditembak, Rombongan Kini Melangun, Warsi: Mereka Butuh Jaminan Keamanan

Baca juga: WALHI Jambi Sebut 17 Desa di Jambi Berkonflik dengan Mafia Soal Kehutanan dan Perkebunan 

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved