Asal Usul Desa Suka Makmur, Tempat Kediaman Orang Tua Brigadir Yosua
Desa Suka Makmur di Sungai Bahar Unit 1, pekan lalu mendadak ramai. Musababnya adalah ekshumasi jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Bri
Penulis: Deddy Rachmawan | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Butuh waktu tempuh sekitar dua jam berkendara dari Kota Jambi. Belok kanan sebelum perbatasan Jambi - Sumatera Selatan. Melintasi perkebunan kelapa sawit dengan medan naik turun. Begitu gambaran untuk menuju Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi.
Desa Suka Makmur di Sungai Bahar Unit 1, pekan lalu mendadak ramai. Musababnya adalah ekshumasi jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J untuk autopsi ulang pada Rabu (27/7/2022).
Keramaian setidaknya terpusat di dua tempat; TPU Desa Suka Makmur dan RSUD Sungai Bahar. Wartawan tak hanya dari Jambi, tapi dari kantor pusat redaksi di ibukota juga berdatangan. Dan mereka menginap di rumah-rumah warga.
"Semalam seratus ribu. Lumayan untuk istirahat," kata Yuda wartawan dari Jakarta. Ia dibantu temannya dicarikan tempat menginap. Keberadaan kos-kosan di Unit 1 Sungai Bahar umumnya diisi oleh karyawan kantor yang domisili di Kota Jambi atau pelajar yang bersekolah di sana.
Desa Suka Makmur, Sungai Bahar sesungguhnya adalah potret keuletan dan kegigihan para transmigran yang umumnya berasal dari tanah Jawa. Kegigihan itu mereka tanamkan sejak menjadi transmigran pertama di Sungai Bahar pada Desember 1985. Mereka yang bertahan adalah sosok spartan alias berdisiplin tinggi dan berani.
“Kloter pertama transmigrasi di Sungai Bahar itu Desember 1985. Yang pertama ya di sini di Suka Makmur, dulu belum ada nama Desa Suka Makmur,” kata Randi, 50 tahun, Selasa (26/7) malam.
Ia adalah generasi kedua di Sungai Bahar. Ayahnya, Yasmo Rejo yang waktu itu berusia sekitar 40 tahun menjadi rombongan pertama babat alas Sungai Bahar. “Wah dulu hutan belantara Mas. Pembukaan lahan dibantu oleh pemerintah,” ujarnya kepada Tribun Jambi didampingi adiknya, Pardiyanto.
Transmigrasi kloter pertama pada Desember 1985 itu memberangkatkan 250 kepala keluarga (KK). Sebanyak 89 KK di antaranya berasal dari Jawa Timur. Orang tua Randi salah satunya. Mereka dari Ngawi.
Para transmigran saat itu diberi jatah tanah untuk rumah, kebun sawit dan lahan pangan. Satu KK diberi paket berupa lahan pekarangan dan rumah di lahan seluas seperempat hektare, lahan tambahan tiga perempat hektare (lahan pangan), kebun sawit yang sudah ditanam seluas dua hektare.
Randi yang kini Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Fathul Qarib Desa Suka Makmur menuturkan, ia selisih satu bulan dengan orang tuanya datang ke Sungai Bahar. Ia menyusul orang tuanya pada Januari 1986. Di bulan yang sama, Januari 1986 datang pula kloter kedua transmigran dari Jawa sebanyak 250 KK.
“Jadi asal usul Suka Makmur ini, karena waktu itu masyarakat mayoritas pendatang dari Jawa, niatnya ingin makmur. Maka sesepuh dulu berkumpul sepakat memberi nama Suka Makmur. Yusuf Sukamto itu kepala desa pertama,” beber pria bertubuh gempal itu.
Para pendatang itulah yang kemudian memberi warna pada wajah Sungai Bahar. Maka tak heran banyak nama di Sungai Bahar kental dengan nuansa Jawa.
Bapak dengan empat anak itu masih ingat bagaimana perjuangan bertahan hidup. Untuk mengambil jatah hidup atau jadup dari pemerintah misalnya. “Wah itu ambilnya di Bunut sana, jaraknya sekitar 17 kilometer dan itu jalan kaki, belum ada motor,” paparnya.
Bunut adalah sebuah desa di Kabupaten Batanghari. Sebelum masuk wilayah administratif Kabupaten Muaro Jambi, Sungai Bahar dulunya bagian dari Kabupaten Batanghari. Jatah hidup itu isinya beras, ikan asin, garam, minyak sayur untuk satu bulan.
Hidup dengan keterbatasan di rantau, lokasi yang relatif sangat sepi membuat ada transmigran yang patah arang di tengah jalan. Ada yang stress, ada pula yang memilih pulang ke tanah kelahiran.
“Kalau dari Jawa Timur itu, dari 89 KK yang tidak bertahan paling 10 persen,” kata Rianto diamini adiknya.
Kata dia, yang membuat mereka bertahan adalah harapan. “Dari Jawa awal mula berangkat tidak membawa apa-apa, tidak punya sejengkal tanah pun, di sini diberi tanah oleh pemerintah. Mau tak mau ya harus berusaha memakmurkan diri,” ujar Rianto mengenang masa-masa sulit.
Kini, wajah Sungai Bahar jauh berubah. Jalan-jalan tanah bersalin menjadi aspal, tidak sedikit pula berupa cor beton. Masyarakatnya pun semakin ramai. Bahkan kata Pardiyanto dalam perjalanannya Desa Suka Makmur dimekarkan. Desa pemekarannya dinamakan Mekar Sari Makmur.
Penelusuran Tribun Jambi pada arsip pemberitaan harian Kompas pada Januari 1991, masih ada gelombang transmigran dari Jawa ke Sungai Bahar.
Pada surat kabar Kompas bertarikh Senin, 28 Januari 1991 termuat berita berjudul Transmigran Polda Jateng, Menuju Sei Bahar Di Jambi. Di berita itu dikabarkan bahwa Kapolda Jateng, Mayjen (Pol) Drs Bambang Daroendrijo, pada 24 Januari 1991 melepas 24 keluarga polri (155 orang) dari Polda Jateng sebagai transmigran PIR kelapa sawit di Sungai Bahar.
Disebutkan 24 KK warga Polda Jateng tersebut terdiri dari 6 orang perwira, 14 orang bintara, 2 orang tamtama dan 2 orang pegawai negeri sipil. Sebagian besar sudah pensiun, sedangkan sebagian lainnya mendekati usia pensiun.
Dan nama Sungai Bahar, kini hangat jadi pembicaraan. Bukan soal transmigrasi. Tapi soal nyawa seorang brigadir polisi yang kematiannya menyisakan banyak kejanggalan. Dialah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. (deddy rachmawan)
Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Tonton Video Polisi Asal Jambi Tewas Ditembak di Jakarta, Kondisinya Tragis
Baca juga: Tujuh Ranperda Pemerintah Provinsi Diterima Seluruh Fraksi di DPRD Provinsi Jambi
Baca juga: Walau Merasa Terancam, Pacar Brigadir Yosua Tak Gunakan Perlindungan LPSK
Baca juga: Celine Evangelista Beberkan Rencana dengan Marshel: Selalu berjalan