Pegawai KPK Dipecat

Novel Baswedan dan 56 Pegawai KPK Dipecat Tanpa Dapat Pesangon dan Tunjangan

56 pegawai KPK dipecat. SK pemecatan mereka berlaku 30 September 2021. Novel Baswedan termasuk dalam puluhan pegawai KPK yang dipecat.

Editor: Rahimin
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Novel Baswedan. Novel Baswedan dan 56 Pegawai KPK Dipecat Tanpa Dapat Pesangon dan Tunjangan 

TRIBUNJAMBI.COM - 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk penyidik senior Novel Baswedan dipecat dari lembaga antirasuah tersebut.

56 pegawai KPK itu dipecati karenat idak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status menjadi ASN.

Pemecatan 56 pegawai KPK itu per 30 September mendatang.

Pemecatan itu lebih cepat satu bulan dibandingkan yang termuat dalam SK Nomor 652 Tahun 2021.

Di mana, dalam SK tersebut puluhan pegawai KPK akan diberhentikan pada 1 November 2021.

56 pegawai KPK yang dipecat tidak mendapat uang pesangon maupun tunjangan.

Mereka hanya mendapat tunjangan hari tua (THT) serta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang selama ini memang mereka bayarkan dalam bentuk tabungan pegawai.

”Ya, pemecatan tanpa ada pesangon dan tunjangan. Hanya penyerahan uang tabungan pegawai sendiri dalam bentuk THT dan iuran BPJS Ketenagakerjaan,” kata Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi nonaktif KPK, Giri Suprapdiono kepada Tribunnews.com, Sabtu (18/9/2021).

Giri Suprapdiono menjelaskan, dalam SK Pimpinan KPK tentang Pemberhentian Dengan Hormat Pegawai KPK disebutkan, dalam diktum poin kedua bahwa pegawai yang dipecat diberikan tunjangan hari tua dan manfaat BPJS Ketenagakerjaan.

Giri Suprapdiono masuk daftar 56 pegawai yang akan dipecat.

Giri Suprapdiono meminta publik jangan sampai salah menafsirkan isi SK.

Giri Suprapdiono membandingkan nasib 56 pegawai KPK dengan buruh pabrik.

Menurut Giri Suprapdiono, pemberantas korupsi dianggap layaknya sampah karena tak mendapat pesangon dan tunjangan.

"Buruh pabrik saja dapat pesangon, pemberantas korupsi dicampakkan seperti sampah," ujarnya.

Giri Suprapdiono mengaku sudah menerima SK pemecatan dirinya.

Dalam tanda terima SK itu, Giri Suprapdiono sempat membubuhi keterangan tambahan terkait keputusan Firli Bahuri Cs memecat dirinya dan puluhan pegawai KPK imbas TWK dalam rangka alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).

"Tanda terima ini bukan sebagai bentuk penerimaan saya untuk dipecat, tetapi sebagai alat perlawanan saya melawan kedzaliman," katanya.

Faisal yang juga masuk daftar 56 pegawai yang akan dipecat menyebut pimpinan KPK di bawah komando Firli Bahuri telah secara kejam menggusur dirinya dan kawan-kawannya yang telah mengabdi belasan tahun di komisi antirasuah.

"Pimpinan KPK secara kejam telah menggusur kami, 56 pegawai KPK. Mereka telah buta-hati mendepak anak kandungnya sendiri. Atau, sejak awal barangkali kami memang dianggap anak haram. Sebuah perangai yang bengis dan semena-mena. Bahkan, sampai titik tertentu sudah biadab," kata Faisal lewat keterangan tertulis, Sabtu (18/9).

Bengis, menurut Faisal merasa pimpinan KPK tak menghiraukan hak asasi manusia (HAM) 56 pegawai KPK itu.

Padahal sebagai manusia, kata dia, 56 pegawai memiliki perasaan. Hak itu, tidak bisa dihilangkan atau dinyatakan tak berlaku oleh negara, apalagi oleh sekadar pimpinan KPK.

Faisal bilang, tidak menghormati HAM 56 pegawai menunjukkan bobroknya penghormatan terhadap martabat manusia oleh KPK.

"KPK secara kejam dan tuna belas-kasihan acuh kepada martabat kemanusiaan kami. KPK tak mengakui hak asasi manusia kami, di mana kami disudutkan sebagai pihak yang lemah, terancam, tak dapat membela diri, tak berguna," ujarnya.

Sikap semena-mena karena ia merasa pimpinan KPK mengabaikan temuan fakta dari Ombudsman RI.

Padahal kata Faisal, Ombudsman telah terang-benderang mengungkapkan adanya pelanggaran administrasi dalam proses asesmen TWK pegawai KPK. "Terlebih, KPK silap mata atas rekomendasi Ombudsman," kata dia.

Faisal tak bisa berbuat apa-apa lantaran SK Pimpinan KPK soal pemecatan 56 pegawai telah terbit.

Karena itu dirinya mohon pamit. Walaupun begitu, selama di KPK, Faisal percaya bahwa sebuah tugas tak mungkin usai tanpa bantuan orang lain.

"Terima kasih layak terucapkan. Saya layangkan apresiasi kepada rekan-rekan di KPK. Semuanya. Tanpa kecuali. Tulus. Saya tak akan minta maaf. Sebab, saya percaya, teman-teman sudah memakbulkan maaf tanpa saya mengiba-iba. Yakinlah, sejak pertama bertemu, lantas bekerja sama dan bersama bekerja, hari demi hari di KPK, saya sudah memutihkan hati. Harapan sebaliknya tentu mirip," ujarnya.

Faisal menilai wajah boleh berganti. Tapi, ide dan perjuangan harus tetap bergentayangan, berkawin dengan pikiran-pikiran kontemporer yang tumbuh. Ia meminta rekan-rekannya tidak ciut menghadapi penguasa.

"Jangan takluk di hadapan kuasa. Tetaplah berani berpolemik secara dinamis dan terbuka, meski tempat pijakan kita dengan kekuasaan sudah berjarak jauh," ujarnya.

Dia juga menilai momen kali ini adalah suatu kewajaran bila mereka tunduk dahulu. Namun, dia mengingatkan mereka tidak keok, tidak menyerah. Ada saatnya nanti angin berpihak. Yang penting, tegas dia, tetaplah berusaha menjaga integritas.

"Dalam keyakinan saya, dalam waktu yang tak lama ke depan, KPK akan sunyi. Tetapi, ingatlah, sunyi adalah bunyi yang sembunyi. Sunyi tidak berarti diam. Dia adalah nada yang ketika waktunya tiba akan terdengar nyaring. Terima kasih atas segala-galanya selama 15 tahun pengabdian saya di KPK," kata Faisal.

Terkait pemecatan para pegawai KPK itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung (FH Unpad) Atip Latipulhayat menilai TWK yang menjadikan tolak ukur pimpinan KPK untuk memberhentikan pegawai hanyalah sebuah alibi atau alasan menyingkirkan para pegawai tersebut.

"Saya melihat dari awal TWK itu memang didesain sebagai sebuah alibi untuk menyingkirkan (para pegawai KPK), jadi itu alibi saja," kata Atip dalam diskusi bersama ICW secara daring, Minggu (19/9/2021).

Ironisnya kata dia, alibi merupakan upaya yang kerap kali didesain oleh mereka yang tidak jujur. Sebab, kata Atip, alibi tidak diperlukan oleh mereka yang sering berbuat jujur karena mereka akan menyampaikan fakta yang ada dengan percaya diri.

"Kalau orang jujur kenapa harus membuat alibi, dia akan dengan senang penuh percaya diri menyampaikan fakta-fakta, tetapi terkait dengan wawasan kebangsaan, hukum kemudian dibuat tafsir manipulatif," ucapnya.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tak Dapat Pesangon, Novel Baswedan Dkk Hanya Terima Tunjangan Hari Tua dan BPJS Ketenagakerjaan

Baca juga: DAFTAR Lengkap 57 Pegawai KPK Termasuk Novel Baswedan Yang Akan Dipecat

Baca juga: Beda Pernyataan Novel Baswedan dan Nurul Ghufron Soal Pegawai KPK Jadi Sorotan

Baca juga: Sudah Lama Novel Baswedan Ingin Disingkirkan dari KPK, Alasannya Tak Masuk Akal

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved