Dua Pengamat Militer Sebut Kontrak Pengadaan Alutsista Belum Bisa Dilakukan dalam Waktu Dekat
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dalam waktu dekat akan melakukan perjanjian kerja sama (PKS) pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista).
"Kalau Kementerian Keuangan setuju anggarannya, kemudian nanti anggaran disiapkan, dan kontrak bisa efektif.
Tapi kalau Kementerian Keuangan tidak sejutu dengan anggarannya, ya, kontraknya bisa enggak efektif," sambung dia.
Kemenhan pun harus membahas pengadaan ini bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Baca juga: Badan Narkotika Nasional (BNN) Resmi Buka 148 Formasi CPNS Tenaga Teknis dan Kesehatan
Menurut Alman, praktik bisnis tersebut lazim dilakukan.
Bahkan, ada pengadaan alutsista yang dilakukan Kemenhan pada beberapa tahun lalu belum terealisasi sampai sekarang.
"Misalnya waktu menterinya masih yang lama, masih Ryamizard, itu ada kontrak pembelian sukhoi sudah ditandatangani 2019 dan sampai hari ini kontraknya belum berlaku efektif,
sudah dua tahun, karena ada ancaman dan sanksi Amerika," terangnya.
"Juga ada kontrak yang dari 2019 juga, kontrak pembelian 3 kapal selam dari Korea Selatan.
Ditandatangani 2019 juga dan sampai saat ini belum efektif juga karena ada masalah-masalah teknis.
Jadi, penandatanganan kontrak itu bukan berarti kontrak sudah efektif," tutup Alman.
Baca juga: Sejumlah Tokoh dan Selebriti Doakan Kesembuhan Untuk Mantan Ketua Umum PKPI Diaz Hendropriyono
Pernyataan serupa disampaikan pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi.
Menurutnya, informasi kontrak yang beredar baru tahap awal.
"Artinya, meski sudah sesuai kebutuhan, masih terlalu dini untuk menganggap bahwa pembelian kapal dan pesawat itu pasti terjadi," ujarnya.
Katanya, kontrak baru terjadi ketika ada kesepakatan atau neogisasi menyangkut syarat-syarat yang harus dipenuhi kedua pihak.
Misalnya, tentang harga, mekanisme jual-beli, dan besaran uang muka, spesifikasi, skema ofset, dan manfaat tambahan lain yang bisa diperoleh.