Mutiara Ramadan
Ramadan dan Keadilan Lingkungan
Puasa Ramadan 1442 H yang bertepatan bulan April, bertemu dengan dua hari penting nasional, yaitu Hari Kartini 21 April dan Hari Bumi 22 April.
Oleh: Arfan Aziz, M.Soc.Sc,. Ph.D
Dosen Fakultas Dakwah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Puasa Ramadan 1442 H yang bertepatan bulan April, bertemu dengan dua hari penting nasional, yaitu Hari Kartini 21 April dan Hari Bumi 22 April.
Perayaan dua hari ini meretas ulang kebangkitan semangat emansipasi wanita dan semangat pelestarian lingkungan.
Dan, kedua semangat itu tentu berhubungan sifat adil dan keadilan yang sangat dianjurkan Islam.
Hari Kartini adalah peringatan tentang keadilan bagi kaum perempuan, Hari Bumi adalah peringatan keadilan bagi bumi semua manusia dan wahana hidup makhluk Allah lainnya.
Seperti Wasit, pengadil di lapangan, wasathiyah juga berarti moderat, objektif sekaligus adil. Orang Islam tentu akan berusaha menjadi Wasit yang adil.
Dalam Al-Quran, menurut Son Haji, mahasiswa UIN Jambi yang mengutip tafsir Buya Hamka, sekurang-kurangnya ada tiga penampakan sifat hakim yang adil: memutuskan sesuatu berdasarkan peraturan dalam agamanya, tidak mengikuti hawa nafsu, dan menjauhi suap dan hadiah.
Ketiga sifat yang semakin langka. Namun kita terus diingatkan untuk berupaya setia kepada sifat adil ini.
Termasuk, menjadi Wasit antara kebijakan pembangunan dengan upaya pelestarian lingkungan.
Ahli Ekonomi akan cenderung menganggap pembangunan, intervensi dan investasi akan mendorong perubahan ekonomi masyarakat, sementara Ahli Ekologi cenderung mengganggap investasi akan menghancurkan ekosistem, dan itu berbahaya.
Sifat adil pada konteks ini adalah juga objektif, wasathiyah.
Pembangunan, sejauh ia melestarikan manusia dan kemanusiaah adalah penting, tapi pembangunan yang menguntungkan sebagian kecil orang, atau mendatangkan mudarat bagi banyak orang, selayaknya tidak dilakukan.
Umpamanya, pembangunan sektor perkebunan di Jambi, yang menurut Walhi Jambi hingga tahun 2019 sudah ada 1.368.000 hektar untuk 186 perusahaan dan memunculkan 28 konflik agraria, selayaknya dihentikan.
Apalagi jika kebijakan perkebunan monokultur itu di atas lahan gambut yang menyimpan kandungan karbon untuk perlindungan iklim global, untuk semua manusia.