Mutiara Ramadan

Siklus Rehat Alat Pencernaan Selama Satu Bulan Ramadan (2)

Seorang tabib diutus oleh Muqauqis, Raja Mesir kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai ungkapan solidaritas sosial

Editor: Deddy Rachmawan
TRIBUN JAMBI/IST
Hasan Basri Husin Wakil Katib Syuriah PW Nahdlatul Ulama Provinsi Jambi 

Oleh: Hasan Basri Husin Wakil Katib Syuriah PW Nahdlatul Ulama Provinsi Jambi

DALAM tulisan Puasa Ajaran Universal yang Sehat dan Menyehatkan (Bagian I), telah dibahas bagaimana manusia mengonsumsi makanan dalam tiga tingkatan klasifikasi.

Pertama, tingkatan hajat atau makan makanan yang dibutuhkan yaitu beberapa suap makanan sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggung. Kedua, tingkatan kifayah atau ukuran kecukupan, yaitu makan makanan yang mengisi sepertiga perut, sepertiga perut berikutnya untuk minuman dan sepertiga perut lagi untuk pernafasan. Ketiga, tingkatan fudlah atau makan yang kelewat batas atau berlebih-lebihan, yaitu makan makanan yang mengisi perut lebih dari sepertiganya.

Kita bisa belajar firman Allah dalam Alquran Surat Al-A’raf Ayat 31 yang artinya, “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Seorang tabib diutus oleh Muqauqis, Raja Mesir kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai ungkapan solidaritas sosial untuk mengobati penduduk Madinah secara cuma-cuma.

Setelah tabib ini bermukim beberapa lama di Madinah, ternyata tidak ada seorang pasien pun yang datang berobat kepadanya.

Hal ini bukan karena penduduk Madinah yang didominasi oleh para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu membayar dan bukan juga karena mereka membencinya. Bahkan sebaliknya penduduk Madinah menyayangi dan menaruh hormat kepadanya.

Akhirnya dokter tersebut mohon diri pamit kepada Rasulullah, hendak pulang dengan alasan selama berada di Madinah tidak ada seorang pasien pun yang datang berobat kepadanya.

Namun sebelum beranjak pulang, dia mengutarakan kekagumannya terhadap tata kehidupan kaum muslimin sambil bertanya. “Tuan, izin saya untuk mengetahui rahasia apakah yang menyebabkan tidak seorang pun mengeluh sakit di sini?" tuturnya.

Rasulullah menjawab dengan bahasa yang sederhana namun mengesankan. Terjemahkan Bahasa Indonesia sebagai berikut, “Kami kaum yang tidak makan sehingga merasa lapar dan bila makan kami tidak sampai kekenyangan.” (HR Abu Dawud).

Pel rutinga boom dalam bukunya De zeikten van de maag menyatakan, “Makanan yang mudah dicerna dapat juga merusakkan jika dimakan melebihi batas, karena dikehendaki dari perut tenaga-tenaga lebih banyak dari semestinya dan datanglah bahaya perut menjadi besar dan buncit. Orang terlalu sering lupa bahwa perut adalah alat yang secara berkala harus melepas lelahnya juga (istirahat). Mengisi perut dengan terlalu cepat dan penuh bisa menimbulkan gejala reflek, juga gejala cardial dan cerbral kadang-kadang yang amat keras”.

Proses makan pada manusia dapat ditelaah dari sudut mekanis secara sederhana sebagai berikut: makanan dikunyah secukupnya di mulut kemudian di telan dan melewati pipa ushopogus sampai ke dalam lambung. Di lambung makanan di tampung dan dicerna selama kurang lebih empat jam.

Selama itulah makanan dicerna dan dipersiapkan pada kondisi keasaman tertentu dan mengamankannya dari infeksi-infeksi tertentu serta diteruskan sedikit demi sedikit menuju ke usus halus sampai lambung kosong.

Di usus halus makanan disempurnakan pencernaannya selama kurang lebih empat jam. Jadi, setelah menikmati makanan alat-alat pencernaan terus bekerja dan baru bisa beristirahat setelah kurang lebih delapan jam kemudian.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jambi
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved