MUTIARA RAMADAN
Mutiara Ramadan - Bulan Ramadan dan Dilema Pedagang Warteg
Mencari rizki hukumnya wajib. Memfasilitasi orang untuk melanggar aturan agama tentu akan berimbas kepada dosa. Di sanalah letak dilemanya.
Fajri Al Mughni, Lc, MUd
Dosen IAI Nusantara Batanghari
Mencari rizki hukumnya wajib. Memfasilitasi orang untuk melanggar aturan agama tentu akan berimbas kepada dosa. Di sanalah letak dilemanya.
Sudah pernah dengar ayat seribu dinar?
Mungkin sebagian orang sudah, tapi sebagian yang lain bisa jadi belum pernah dengar. Ayat seribu dinar adalah surah Ath-Thalaq ayat 2-3.
Artinya: “Siapa saja yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan siapa saja yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Bagaimana ayat ini bisa digunakan dan diterapkan oleh para pedagang warteg dan pedagang makanan lainnya dalam konteks bulan Ramadan?
Pertama: yang sangat dibutuhkan oleh seorang muslim yang beriman, atau seorang muslim yang bercita-cita menjadi beriman, adalah keyakinan dan kemantapan hati bahwa Al-Islam huwal hal. Islam adalah solusi.
Kedua: dalam ayat seribu dinar, terdapat kalimat “Siapa saja yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia (Allah) akan mengadakan baginya jalan ke luar”.
Ayat ini sangat sinkron dengan ayat ke 183 dalam surah Al-Baqarah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Artinya, dengan berpuasa akan menimbulkan dampak positif, yaitu menjadi orang yang bertakwa. Maka, jika sudah termasuk golongan orang yang bertakwa, dapat dipastikan bahwa rizkinya dijamin langsung oleh Allah Swt.
Ketiga: oleh karena itu, otomatis apabila tidak puasa pada bulan ramadhan (dalam keyakinan umat Islam), maka derajat takwa akan sulit dicapai. Lalu apa kaitannya dengan pedagang warteg atau pedagang makanan yang tetap buka meskipun di siang hari bulan Ramadan?
Umat Islam yang datang untuk santap siang ke warteg tentu termasuk dalam golongan orang yang melanggar aturan agama. Maka dalam hal ini, para pedagang warteg otomatis menjadi merasa bersalah. Analogi sederhananya begini, tidak puasa pada bulan Ramadan merupakan “tindak kejahatan”, makanan yang dimakan merupakan barang buktinya.
Cara kerja polisi dalam menelusuri siapa saja yang terlibat, di antaranya adalah mencari dari mana makanan tersebut didapat. Jika sudah ketemu sumber makanan tersebut, maka pemiliknya akan menjadi orang yang dianggap “bersalah”.
Namun, perlu dicatat bahwa pemilik makanan yang dianggap bersalah, belum tentu bersalah (asas praduga tak bersalah). Bahkan wajib hukumnya pedagang warteg dianggap tak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pedagang warteg yang kini dianggap bersalah bisa saja mengajukan pertanyaan, apakah ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur bahwa membuka warung di siang hari bulan Ramadan dilarang?
Pertanyaan ini sulit dijawab. Namun sebagian pendakwah memiliki jawaban dengan mengutip ayat “Janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan maksiat.” (QS. al-Maidah: 2).
Membuka warung di siang hari bulan Ramadan samalah dengan tolong-menolong dalam dosa. Begitu kira-kira argumennya.
Namun, argumen ini mungkin sedikit akan memunculkan semi debat. Dalam Islam ada orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa atau memilih untuk tidak berpuasa. Misalnya, para musafir, uzur syar’i atau ada halangan, haid, nifas dan orang-orang yang memang berbeda keyakinan. Nah, pedagang warteg hanya akan membukakan pintu atau melayani orang-orang seperti itu.
Kenapa begitu?
Karena tahapan orang yang berpuasa itu bermacam-macam. Ada yang sedang dalam tahap belajar puasa, ada juga yang sedang dalam tahap menghindari ocehan tetangga, ada juga yang berpuasa karena takut sama istri, dan tahapan-tahapan lainnya. Untuk itu, anjuran agar warteg atau warung makanan ditutup pada bulan ramadhan adalah dalam rangka menghormati orang-orang yang sedang dalam tahapan belajar puasa itu. Karena kalau bagi orang-orang yang sudah terbiasa berpuasa, tidak akan tergoda hanya dengan dibukanya warteg.
Maka, pedagang warteg tidak bisa dihukum karena membuka warteg. Selain karena tidak ada dasar hukumnya, orang yang ingin makan di warteg bisa jadi orang-orang yang sedang dibolehkan untuk makan pada siang hari bulan Ramadan, atau mungkin memang beda keyakinan.
Atas dasar itulah, mereka bisa ditetapkan tidak bersalah dan terbebas dari hukuman. Namun dengan syarat dan ketentuan.
Syarat pertama, pedagang warteg harus benar-benar memahami kearifan lokal. Jika sekiranya masyarakat tempat ia membuka warteg merupakan masyarakat Islam yang bisa jadi sebagian besarnya adalah orang-orang yang belajar puasa, sebaiknya jangan membuka warteg pada siang hari bulan Ramadan. Pedagang harus arif dan bijak. Yakinlah, akan ada ruang dan jalur rizki lain yang Allah siapkan.
Syarat kedua, pedagang warteg harus menjadi muslim sejati yang bertugas untuk saling mengingatkan antar sesama umat Islam. Kalaupun terpaksa buka warteg, ingatkan bahwa ia hanya melayani para musafir, udzur syar’i, haid, nifas dan berbeda keyakinan. Selain itu, jangan terima.
Ayo, mari kita saling mengingatkan agar selalu bersikap sabar dan memberi wasiat kepada jalan yang benar. (*)
Baca juga: Mutiara Ramadan - Mengukur Standar Puasa Kita
Baca juga: Mutiara Ramadan - Muhasabah Diri Dalam Bulan Ramadhan