China Semakin di Atas Angin, Senjata Baru Ini Buat Militer Tiongkok Ditakuti Dunia, Apa Itu?
China disebut-sebut tengah mengembangkan senjata nuklir yang bisa menghancurkan musuhnya dalam sekejap.
China Semakin di Atas Angin, Senjata Baru Ini Buat Militer Tiongkok Ditakuti Dunia, Apa Itu?
TRIBUNJAMBI.COM - Ketegangan di Laut China Selatan perlu diwaspai Tiongkok yang mengklaim merupakan wilayahnya. China akan menghadapi Amerika.
China disebut-sebut tengah mengembangkan senjata nuklir yang bisa menghancurkan musuhnya dalam sekejap.
Pantas saja kini militer China di atas angin. Namun apakah itu saja senjata China?
Dalam beberapa tahun terakhir, negeri Panda itu menempati urutan 3 besar sebagai militer terkuat di dunia.
Secara peringkat, China hanya kalah dari 2 negara saja, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Rusia.
Peringkat itu sesuai dengan jumlah pasukan dan senjata militer yang mereka gunakan.
• China Kalang Kabut Pentagon Kirim 4 Pesawat Pembom Nuklir ke Pulau Guam, China Mendadak Jadi Begini
• Kisah Serda Revani Hancurkan Pasukan Malaysia, Marinir TNI AL Menantang Maut Tak Takut Hujan Peluru
• Amerika Cemas China dan Rusia Gunakan Senjata Nuklir, Joe Biden Mendadak Jadi Begini, Takut Hancur?
Namun soal teknologi, militer China tak kalah hebat.
Seperti yang baru-baru ini mereka lakukan.
Kementerian Pertahanan China mengatakan, militer mereka sukses melakukan uji pencegatan rudal berbasis darat di dalam wilayahnya pada Kamis (4/2/2021) lalu.
"Mencapai tujuan pengujian yang diinginkan," kata Kementerian Pertahanan China dalam pernyataan tertulis Jumat (5/2/2021) di laman resminya.
"Tes ini bersifat defensif dan tidak ditargetkan terhadap negara mana pun," sebut Kementerian Pertahanan China.

Mengutip Global Times, itu merupakan uji mid-course ABM berbasis darat keempat China yang diketahui publik.
Mid-course adalah fase paling vital dalam intersepsi rudal balistik.
"Dan, mid-course ABM berarti mencegat rudal saat berada dalam fase penerbangan bebas di luar atmosfer," kata Song Zhongping, pakar militer China, kepada Global Times.
Menurut dia, durasi fase mid-course relatif lama.
Kesulitan besar dalam intersepsi terletak pada lintasan yang tinggi.
Dan, target pencegatan biasanya rudal balistik jarak menengah dan antarbenua.
"China sudah menguasai mid-course ABM system, dan melakukan tes terbaru menunjukkan sistem itu semakin matang, dan tingkat keberhasilan serta reliabilitas intersepsi meningkat secara signifikan," ujar Song.
Tiga fase penerbangan rudal
Penerbangan rudal balistik biasanya terdiri dari tiga fase dalam urutan waktu.
Pertama, fase dorongan, di mana pendorong roket akan menggerakkan rudal ke langit.

Kedua, fase tengah, saat pendorong berhenti ketika rudal melintasi luar atmosfer dan masuk kembali ke dalam atmosfer.
Ketiga, fase terminal, kala rudal memasuki kembali atmosfer dan menuju ke sasarannya.
Secara teknis, mudah untuk mencegat rudal balistik dalam fase pendorong.
Sebab, rudal tersebut masih dekat dengan permukaan tanah dan berakselerasi.
Tetapi, sulit untuk mendekati lokasi peluncuran yang biasanya jauh di wilayah musuh.
• Pasukan Malaysia Porak-poranda Diganyang Marinir, Ini Sejarah Kelam yang Ditutupi Inggris dari Dunia
Sedang dalam fase terminal, pencegatan sangat menantang karena kecepatan rudal "menyelam" sangat tinggi.
Menurut para analis, sangat penting untuk membangun sistem anti-rudal yang efektif dan lengkap.
Terutama terhadap rudal jarak menengah dan antarbenua yang biasanya dilengkapi dengan hulu ledak nuklir.
Kapal Induk Inggris Menuju Laut China Selatan
China memperingatkan Inggris dan negara Barat lainnya untuk tidak mengirim kapal perang ke Laut China Selatan.
“Negeri Panda” menyatakan bahwa pihaknya bakal mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga kedaulatannya. Ancaman tersebut dilontaskan China setelah muncul kabar kalau kapal induk terbaru Inggris, HMS Queen Elizabeth, akan dikerahkan ke Laut China Selatan dalam beberapa bulan mendatang.
Rencana pengerahan HMS Queen Elizabeth ke perairan tersebut merup

akan bagian dari misi operasional pertamanya. Sepanjang 2020, ketegangan antara China dan Barat terus meningkat sebagaimana dilansir dari The Sun, Sabtu (2/1/2021).
Ketegangan tersebut disebabkan oleh berbagai sebab seperti penanganan China terhadap pandemi virus corona, penanganan terhadap aksi protes di Hong Kong, dan kendali atas Laut China Selatan.
Sementara itu, Amerika Serikat ( AS) sering mengirim kapalnya melalui Laut China Selatan untuk menantang klaim China atas wilayah tersebut. Selain itu, ada spekulasi bahwa Inggris akan melakukan hal yang sama ketika HMS Queen Elizabeth beroperasi penuh.
Kapal induk tersebut diharapkan untuk bergabung dengan pasukan Angkatan Laut AS dan Jepang di dekat Kepulauan Ryukyu Jepang secepatnya pada 2021 menurut Kyodo News.
Dalam konferensi pers bulanan di Beijing pada Kamis (31/12/2020, Juru Bicara Kementerian Pertahanan China Tan Kefei ditanyai tentang rencana pengerahan HMS Queen Elizabeth tersebut di Laut China Selatan.
"Pihak China percaya bahwa Laut China Selatan tidak boleh menjadi lautan persaingan kekuatan besar yang didominasi oleh senjata dan kapal perang,” kata Tan.
Dia menambahkan bahwa alasan sebenarnya adanya militerisasi di Laut China Selatan berasal dari negara-negara di luar kawasan tersebut.
Pasalnya, China berpendapat bahwa kekuatan asing mengirimkan kapal-kapalnya ke Laut China Selatan, ribuan kilometer jauhnya dari rumahnya.
"Militer China akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunannya serta perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," tutur Tan.
Sejumlah negara termasuk China, Taiwan, Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam membuat klaim atas sebagian Laut China Selatan.
Selain itu, berbagai negara lain ingin mempertahankan akses ke jalur pelayaran di daerah itu. Laut China Selatan disebut sangat seksi karena perdagangan global senilai 3,4 triliun dollar AS (Rp 48.326 triliun) melewati perairan itu setiap tahun.
Angka tersebut menyumbang sekitar sepertiga dari semua perdagangan maritim global.
Selain itu, Laut China Selatan memiliki stok ikan yang melimpah serta cadangan minyak dan gas bumi yang besar.
Gambar satelit juga menunjukkan jet tempur China dikerahkan ke pulau-pulau di wilayah tersebut. Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 menemukan bahwa tidak ada bukti kalau China secara historis melakukan kontrol eksklusif atas perairan atau sumber daya mereka.
Keputusan itu mengatakan bahwa tidak ada dasar hukum bagi China untuk mengeklaim hak bersejarah atas sumber daya di Laut China Selatan.
Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Pantas China di Atas Angin, Ternyata Ini yang Bikin Militer China Kuat dan Ditakuti, Apa?