Berita Kota Jambi

Hutan Tergerus Puluhan Ribu Rakyat Jambi Sengsara, Warsi: Penting Akses Bagi Masyarakat Adat

Komunitas Konservasi Indonesia Warsi mencatat bencana banjir di Jambi sepanjang tahun 2020 mengakibatkan 11.144 rumah terendam banjir. 

Penulis: Dedy Nurdin | Editor: Nani Rachmaini
Dedi nurdin
Catatan Warsi. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, hingga penghujung tahun tutupan hutan di Jambi yang tersisa hanya 882.272 Hektar.  

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Terus berkurangnya tutupan hutan di Provinsi Jambi akibat eksploitasi yang masih masih terus berlangsung sampai dengan tahun 2020 ini berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas. 

Salah satunya adalah bencana ekologi, Komunitas Konservasi Indonesia Warsi mencatat bencana banjir di Jambi sepanjang tahun 2020 mengakibatkan 11.144 rumah terendam banjir. 

Di Kabupaten Merangin,  banjir telah merendam 1000 rumah.

Disusul Kabupaten Sarolangun 685 rumah, Bungo 730 rumah, Kabupaten Batanghari 8.238 rumah, Kerinci 312 rumah dan Kota Jambi 100 rumah. 

Direktur Eksekutif KKI Warsi menerangkan, banjir yang terjadi ditahun 2020 juga disebabkan tingginya curah hujan akibat La Nina. 

Bankir yang terjadi di kawasan hulu Sungai Batanghari lebih berbahaya dibandingkan dengan hilir.

Hal ini dikarenakan, banjir yang terjadi di hulu dapat mengakibatkan banjir bandang. 

Ini dikarenakan munculnya bendungan alam yang terjadi di daerah anak Sungai Bataghari akibat pohon tumbang sari kerusakan lingkungan di sepadan sungai. 

Baca juga: BREAKING NEWS: Polda Jambi Periksa 4 Orang Massa Amin yang Orasi di Depan Polda Jambi

Baca juga: Ngotot Minta Harta Warisan Lina Jubaedah, Sule Tegas Bilang Begini, Bicara Soal Jalur Hukum

Baca juga: BREAKING NEWS: Sudah Dua Hari Nelayan di Tanjabbar Dinyatakan Hilang, 10 Pompong Dikerahkan

Sehingga ketika cura hujan meningkat mengakibatkan aliran sungai terhalang.

Warsi menyarankan pemerintah agar membentuk tim patroli khususnya dimusim penghujan. 

"Ketika musim hujan, harus ada tim patroli. Membersihkan kayu melintang yg menjadi bendungan alam. Itu harus disuarakan kepada desa-desa di hulu. Karena kebanyakan dibangun di tepi sungai dan paling rawan banjir. Patroli ini harus kita dorong sehingga meminimalkan banjir bandang," kata Rudi Syaf, Jumat (18/12/2020). 

Berbeda dengan wilayah hilir, di mana banjir lebih cenderung dipengaruhi pasang surut permukaan air laut.

"Tetap sumbernya di hulu, sementara di wilayah perkotaan lebih disebabkan pola hidup dan tata kelola sampah yang tidak bagus," katanya. 

Selain dampak kerusakan hutan,
Di sisi lain Warsi juga menyoroti mengenai pemanfaatan lahan di Jambi yang masih belum mengaokomodir keberadaan masyarakat.

Sehingga menimbulkan konflik lahan yang tidak kunjung usai. 

Dari perhitungan Warsi sedikitnya ada ada 6 kasus konflik lahan antara masyarakat dengan pemilik konsesi.

Konflik ini juga terjadi pada Orang Rimba. Di pertengahan Mei 2020 lalu, Orang Rimba Kelompok Sikar kembali berkonflik dengan PT SAL. 

Konflik ini merupakan akumulasi konflik-konflik sebelumnya. Orang Rimba bermukim di kawasan perkebunan ini sejak hutan mereka dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. 

“Konflik sumber daya ini timbul karena belum ada solusi yang menyeluruh untuk masyarakat yang tinggal di areal konsesi, yang nota bene merupakan tanah leluhur mereka dari dulu,” ungkap Rudi Syaf. 

Untuk itu, Warsi menilai pentingnya pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan mutlak untuk dilakukan.

Selama ini masyarakat sudah membuktikan kemampuan mereka menjaga hutan. Rudi Syaf mencontohkan di Lanskap Bujang Raba Kabupaten Bungo. masyarakat mampu memanen angin, Dengan skema imbal jasa karbon sukarela. 

"Masyarakat bisa menikmati dana hasil upaya mereka menjaga hutan senilai Rp 1 M dan akan segera di bagikan 1 M berikutnya,” ujarnya Rudi. 

Pembagian dana imbal jasa karbon ini menunjukkan bahwa hutan yang terpelihara sangat mampu untuk memberikan nilai ekonomi bagi masyarakatnya. 

Kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan sumber ekonomi dari hasil hutan bukan kayu juga meningkat ketika mereka punya akses terhadap hutan. 

Seperti di Kecamatan Bathin III Ulu, Warsi dengan dukungan TFCA Sumatera mendorong pengelolaan rotan manau melalui badan usaha dusun bersama (Bumdusma). 

Rotan dan manau di  sana memiliki potensi yang banyak dan pasar yang terbuka. Sehingga bisa menjadi potensi sumber ekonomi lebih baik. 

“Untuk mengatasi konflik lahan, pemerintah harus memberikan akses kepada masyarakat mengelola sumber daya. Boleh jadi ada kesalahan kebijakan di masa lalu, seperti Orang Rimba yang tidak diperhitungkan di masa silam."

"Saat ini pemerintah diharapkan mendorong perusahaan yang ada Orang Rimba di dalamnya untuk berkolaborasi, minimal membangun kemitraan dengan Orang Rimba yang berada dalam konsesi mereka," kata Rudi. 

“Menurut kami ini adalah win-win solution yang bisa diterapkan, sehingga masyarakat adat itu tetap bisa hidup dengan layak di tanah nenek moyang mereka,” pungkasnya Rudi. (Dedy Nurdin) 

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved