Tiga Dosa di Sekolah yang Tak Boleh Ditoleransi, Nadiem Makarim: Ada Konsekuensi Berat Bagi Pelaku
Mendikbud Nadiem Makarim menyebut ada tiga dosa di sekolah yang tidak boleh lagi ditoleransi. Bahkan pelakunya harus dihukum berat.
Tiga Dosa di Sekolah yang Tak Boleh Ditoleransi, Nadiem Makarim: Ada Konsekuensi Berat Bagi Pelaku
TRIBUNJAMBI.COM - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyebut ada tiga dosa di sekolah yang tidak boleh lagi ditoleransi. Bahkan pelakunya harus dihukum berat.
Berdasarkan data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan murid yang mengaku pernah mengalami perundungan ( bullying) di Indonesia sebanyak 41,1 persen.
RI ada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami perundungan.
Berbagai riset tentang kekerasan anak menunjukkan bahwa anak-anak mengalami kekerasan di lokasi yang mereka kenal dan oleh orang-orang yang mereka kenal.
Hal ini tidak terkecuali terjadi di sekolah oleh teman sebaya, pendidik atau tenaga kependidikan.
Baca juga: Surat Riziq Sihab Tersebar ke Publik, Terbongkar Ini Permintaan Pemimpin FPI pada Anak dan Istrinya
Baca juga: Komentar FPI, Komnas HAM, Kompolnas Soal Rekonstruksi Tewasnya 6 Laskar FPI: Awalnya Ada, Kemudian
Baca juga: Keanehan Ini Muncul Saat Rekontruksi Penembakan 6 Laskar FPI, IPW Sampai Heran: Tidak Masuk Akal
Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI) mengungkapkan kasus perundungan yang ditangani KPAI terhadap anak-anak paling banyak didominasi oleh siswa Sekolah Dasar (SD).
Diketahui, ada 25 kasus atau 67 persen yang tercatat oleh KPAI baik dari kasus yang disampaikan melalui pengaduan langsung maupun online sepanjang Januari sampai April 2019.
Sebelumnya, KPAI merilis sejumlah pelanggaran hak anak pada tahun 2018, didominasi terjadi kekerasan di lingkungan.
Dari 445 kasus yang ditangani sepanjang 2018, sekitar 51,20 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan baik fisik, seksual, maupun verbal.

Bahkan, ironisnya, kekerasan fisik yang dialami anak di sekolah kebanyakan dilakukan oleh pendidik.
Dari sisi perundangan, Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak Anak pada 26 Januari 1990 dan meratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 September 1990.
Langkah yang dilakukan Indonesia dalam melaksanakan Konvensi 1989 adalah melakukan Amandemen kedua Undang Undang Dasar Tahun 1945 dengan memasukkan Pasal 28B Ayat (2) pada 18 Agustus 2000,
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Langkah selanjutnya, adalah menerbitkan berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang beberapa kali diperbaharui dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014.
Baca juga: Refly Harun Curiga, Ada yang Janggal dengan Penembakan Laskar FPI, Ini Cerita Versi Polisi dan FPI
Baca juga: MRS Sampaikan Pesan Khusus pada Munarman dari Penjara: Jangan Berhenti, Bongkar Sampai Akar-akarnya!