Kisah Penjaga Rimba Terakhir Dalam Buku, Berkat Sepotong Ubi Rebus dan Jasa Gus Dur Bagi Orang Rimba
Sandra Moniaga bersemangat sangat mengulas buku 'Menjaga Rimba Terakhir' yang ditulis Mardiyah Charmin diterbitkan KKI Warsi.
Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Sandra Moniaga bersemangat sangat mengulas buku 'Menjaga Rimba Terakhir' yang ditulis Mardiyah Charmin diterbitkan KKI Warsi.
Perempuan Komisioner Komnas HAM itu tidak cuma mengulas isi buku 570 halaman tersebut, tapi juga membuka cerita lain yang penting.
Grand launching buku ‘Menjaga Rimba Terakhir’ dilakukan secara daring. Pandemi Covid-19 menjadi alasannya.
Pertemuan tatap muka hanya akan meningkatkan potensi tertular virus corona. Walau peserta hanya berinteraksi via Zoom dan YouTube, antusiasmenya tak luntur.
Sandra Moniaga menjadi pembahas utama. Pada awalnya ia memberikan apresiasi. Kemudian ia membuka lembaran kisah penetapan status Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
Peran Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur adalah tidak bisa dilepaskan, demikian juga peran dari KKI Warsi.
TNBD ditunjuk berdasarkan SK 258/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000. “(Keputusan) Itu memang luar biasa, tapi ada hal yang lebih menarik,” kata Sandra Moniaga, Rabu (28/10).
Ia bilang di SK tersebut mencantumkan Taman Nasional Bukit Duabelas menjadi ruang hidup Orang Rimba.
“Panjang sekali (judul SK) sampai lima baris, mencantumkan itu ya, bahwa TNBD menjadi ruang hidup Orang Rimba. Tapi saya cari di web TNBD tidak ada itu,” ungkapnya. Menurut dia, ini merupakan keputusan besar Gus Dur yang sangat bernilai untuk hidup Orang Rimba.
Walau Gus Dur sudah membuat keputusan yang luar biasa itu, kata Sandra, sempat juga dari Kemenhut yang mengatakan akan direvisi, karena tak sesuai Undang-Undang Konservasi.
“Ada tiga SK yang menjadi terobosan pada tahun-tahun itu. Ini dibilang tidak sesuai dengan UU 5 tahun 1990, karena konservasi itu untuk konservasi (tidak termasuk manusia,” ujarnya.
Ia bersyukur hingga saat ini tidak ada revisi itu.

Dua bulan setelah SK penetapan TNBD ini keluar, Gus Dur yang masih menjadi Presiden RI, secara khusus datang ke Jambi untuk launching Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Pada saat itu Gus Dur kembali menegaskan TNBD merupakan kawasan taman nasional yang punya ciri khusus yang diperuntukkan bagi kehidupan Orang Rimba.
Orang Rimba berkesempatan bertemu langsung dengan Gusdur dan menyampikan harapannya agar melindungi kawasan hutan yang menjadi rumah mereka.
Permintaan disanggupi Gus Dur dengan memerintahkap jajaran kehutanan menghentikan pembalakan liar di TNBD, setelah sebelumnya dilakukan pencabutan izin HTI yang beroperasi di kawasan itu.
Keputusan Gus Dur yang pro kemanusiaan ini kemudian hendak dibelokkan tahun 2005. Saat itu pemerintah menggunakan jasa konsultan membuat rancangan pengelolaan taman nasional.
Rupanya konsultan mengalokasikan kawasan di zona inti yang berarti tidak boleh ada manusia di dalamnya. Rencana itu mendapatkan penolakan, termasuk dari KKI Warsi.
Bagaimana Warsi bisa masuk ke Orang Rimba, dan menjadi begitu menyatu dengan komunitas yang mayoritas hidup dari berburu dan meramu hasil hutan ini? Kisah ini pun terekam dalam buku ini, kembali diceritakan Mardiyah saat grand launching.
Robert Aritonang merupakan antropolog yang pertama datang ke komunitas Orang Rimba. Saat itu istilahnya masih coba ketok pintu awal, sebab Orang Rimba masih sulit menerima kedatangan orang lain.
“Robert Aritongan terbangun kaget. Pagi itu orang-orang rimba baku teriak. Perempuan dan laki-laki saling bertukar makian yang tidak jelas. Samar-samar terdengar ada kata sidang adat dan pembunuhan,” kata Mardiyah membacakan isi buku itu.
Robert berjarak beberapa ratus meter dari tenda-tenda yang dihuni Orang Rimba. Ia saat itu belum diperbolehkan terlalu dekat. Ia berdiri memandangi ke arah pemukiman Orang Rimba.
Lalu seorang remaja tanggung mendantanginya, meminta gula dan kopi kepada Robert, dan si remaja itu juga menyebut akan ada pembunuhan sesaat lagi.
Robert memenuhi permintaan remaja itu, tapi dengan syarat ia harus ikut sidang adat. Segera robert ambil gula kopi lalu ikuti remaja itu ke lokasi sidang adat.
Setelah berjam-jam ditunggu, ternyata pembunuhan itu bukan bunuh-bunuhan, seperti yang ada di pikiran Robert.
Pembunuhan yang dimaksud adalah bertukar argumen.
“Jadi saling ngomong sambil mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Robert kecele, dikira pembunuhan (seperti umumnya) ternyata bertukar kata-kata,” kata Mardiyah lalu tertawa.
Pembunuhan yang terjadi versi Orang Rimba itu adalah, ada tumenggung yang dituduh telah memandangi seorang perempuan denan tidak pantas, yakni kelamaan lihat seorang perempuan.
“Itu tabu bagi Orang Rimba. Cuma memandang aja sudah harus sidang adat. Setelah bertukar kata-kata berjam-jam, beres persoalannya. Konflik diselesaikan dengan pembicaraan,” katanya.
Hari semakin siang. Robert lapar, apalagi ia tidak sempat sarapan, karena mendengar kalimat pembunuhan di pagi saat ia bangun. Di depannya, dalam kelompok Orang Rimba yang sedang “pembunuhan’ itu ada ubi yang direbus. Aroma ubi itu menggoda perutnya.
Robert minta izin mengambil ubi yang sudah ada panci, tapi tak ada yang menjawab. Tak ada yang mengizinkan, tak ada juga yang melarang. Robert langsung mengambil.
Seketika semua diam melihat Robert. Ketapel, parang, rotan yang sebelumnya ada di tangan merek, diletakkan.
Robert takut melihat situasi itu. Dia berhenti makan ubi. Jantungnya berdetak kencang. Lalu seorang perempuan Rimba mengatakan yang tak diduganya dengan bahasa mereka, "Oh dia kelaparan.”
Mata yang memandang tajam berubah ramah. Robert yang ambil ubi jadi hiburan Orang rimba saat itu. Sebab, Orang Rimba mengira orang terang (orang dari luar kelompok Rimba) tidak mau makan makanan mereka.
“Suasana tegang jadi lumer karena ubi itu,” tutur Mardiyah.
Robert yang juga ada di ruang Zoom Meeting itu terlihat terkekah. Ia tersenyum mendengar Mardiyah bercerita kisahnya pertama kali bisa masuk dan bergaul dengan Orang Rimba.
Siapa sangka, ubi rebus itu jadi pintu masuk bagus bagi KKI Warsi menyatu dengan Orang Rimba.
Orang Rimba merupakan satu di antara penjaga hutan terakhir. Mereka selalu menjaga seisinya dengan baik, tapi orang luar selalu merusaknya.
Mereka tidak akan merusak aliran sungai, tak akan menebang sembarangan. Mereka juga tidak akan menjual pohon.
Mereka meyakini bila merusak hutan akan membuat dewa marah, dan malapetakan akan terjadi pada mereka. (Suang Sitanggang).
Baca juga: Kisah Penjaga Rimba Terakhir Dalam Buku, Gentar Mengancam Minum Racun Bila Dilarang Sekolah
Baca juga: Kisah Yohana Marpaung Fasilitator Pendidikan Orang Rimba, Bergelut dengan Alam dan Budaya Baru