Alasan Pemerintah Hapus Pasal Ini dari UU Cipta Kerja, Draf Omnibus Law Berubah Jadi 1.187 Halaman

Draf UU Cipta Kerja benar-benar membuat masyarakat bingung. Untuk kesekian kalinya Undang-Undang yang memicu gelombang demontrasi.

Editor: Teguh Suprayitno
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Marwan Cik Hasan menyerahkan berkas pendapat akhir Fraksi Demokrat kepada Ketua DPR Puan Maharani saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. 

Pasal hilang

Selain penambahan halaman, ternyata ada pasal yang hilang dari naskah yang dikeluarkan Setneg.

Pada naskah versi DPR terdapat Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang masuk dalam bagian Paragraf 5 tentang Energi dan Sumber Daya Mineral.

Nah, dalam versi Setneg, Pasal 46 tersebut hilang.

Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah mengakui telah menghapus Pasal 46 soal minyak dan gas bumi (migas) dari Undang-Undang Cipta Kerja.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2021 tentang Minyak dan Gas Bumi, memang seharusnya tidak ada di dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR bersama pemerintah.

Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Marwan Cik Hasan menyerahkan berkas pendapat akhir Fraksi Demokrat kepada Ketua DPR Puan Maharani saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang.
Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Marwan Cik Hasan menyerahkan berkas pendapat akhir Fraksi Demokrat kepada Ketua DPR Puan Maharani saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Namun, pasal tersebut belum dihapus saat DPR menyerahkan draf final UU Cipta Kerja ke pemerintah pada 14 Oktober 2020.

"Jadi kebetulan Setneg (Kementerian Sekretariat Negara) yang temukan. Jadi itu (Pasal 46) seharusnya memang dihapus," ujar Supratman saat dihubungi, Jakarta, Kamis (22/10/2020).

Menurutnya, Pasal 46 berisi terkait tugas BPH Migas, di mana awalnya pemerintah mengusulkan kewenangan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa atau toll fee dialihkan dari BPH Migas ke Kementerian ESDM.

Setelah dibahas pada rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, kata Supratman, usulan pemerintah tersebut tidak dapat diterima pada waktu itu.

"Tapi naskah yang kami kirim ke Setneg ternyata masih tercantum ayat 1-4 (dalam Pasal 46)," katanya.

"Karena tidak ada perubahan (kewenangan toll fee), Setneg mengklarifikasi ke Baleg, dan saya berkonsultasi ke kawan-kawan, seharusnya tidak ada (Pasal 46) karena kembali ke undang-undang eksisting," sambung Supratman.

Baca juga: China Meradang, Menlu Amerika Mendadak Ingin Temui Jokowi, Taiwan Ingin Beli Senjata Mematikan

Diketahui, Pasal 46 UU Migas sebelumnya tercantum dalam naskah UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Joko Widodo.

Namun, pasal tersebut dihapus dari naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam.

Sementara, terkait keberadaan Bab tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Restribusi yang mengalami perubahan posisi di draf terbaru UU Ciptaker.

Halaman
123
Sumber: TribunWow.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved