Sudah Setahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, Kontras Cata Ada 158 Pelanggaran Kebebasan Sipil

Catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan setahun pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin ada 158 pelanggaran atas kebebasan sipil

Editor: Rahimin
Tribun Medan/Danil Siregar
Petugas kepolisian berpakaian preman mengamankan pengunjuk rasa saat aksi menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di depan Gedung DPRD Sumut, Medan, Kamis (8/10/2020). Aksi demontrasi dari berbagai lembaga di Medan tersebut berujung bentrok dengan aparat kepolisian. 

TRIBUNJAMBI.COM - Catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) setahun pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin ada 158 pelanggaran atas kebebasan sipil.

Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti, pelanggaran itu berupa pembatasan maupun serangan terhadap kebebasan sipil.

"Kontras menemukan dalam satu tahun terakhir terdapat 158 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap kebabasan sipil," ujar Fatia dalam konferensi pers secara daring pada Senin (19/10/2020).

Jumlah itu terdiri dari pelanggaran terhadap hak asosiasi (4 peristiwa), pelanggaran atas hak berkumpul (93 peristiwa) dan pembatasan hak berekspresi (61 peristiwa).

Baca juga: Mahfud MD Minta Aparat Keamanan Ambil Tindakan Tegas ke Pengacau Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja

Baca juga: Jokowi Minta Harga Vaksin Covid-19 Tak Harus Disampaikan ke Masyarakat, Ini Alasannya

Baca juga: Polri Minta Pendemo Tolak UU Cipta Kerja Waspadai Masuknya Penyusup Yang Berniat Buat Kerusuhan

Pelanggaran-pelanggaran tersebut melibatkan polisi sebagai aktor utama penyerangan terhadap kebebasan sipil.

"Selain itu, pandemi Covid-19 juga dijadikan alasan untuk memberangus ruang sipil, diantaranya melalui pembubaran aksi, dalam banyak peristiwa secara represif," tutur Fatia.

Hal ini menunjukkan bahwa negara telah gagal dalam menyediakan akses yang efektif bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan aspirasinya melalui jalur-jalur lain agar dapat mempengaruhi kebijakan negara, selain melakukan aksi massa.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa aksi saat demonstrasi di Gambir, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja berakhir ricuh.
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN Aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa aksi saat demonstrasi di Gambir, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja berakhir ricuh. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Terlebih, terdapat perkembangan metode serangan terhadap kebebasan berekspresi, yakni pembungkaman siber dalam bentuk peretasan, intimidasi, doxing, bahkan penyiksaan di ruang siber.

"Kemudian, dari segi perlindungan terhadap pembela HAM, dalam satu tahun terakhir kami menemukan pola yang terus berulang, yakni berlarutnya proses hukum terhadap pelaku penyerangan terhadap pembela HAM," ungkap Fatia.

"Hal ini dapat dilihat dalam penanganan kasus Novel Baswedan, Golfrid Siregar, dan Ravio Patra," lanjutnya.

Sementara itu, dalam aspek penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, selama satu tahun ini nyaris tidak ada kemajuan. Bahkan, dalam beberapa hal justru terjadi kemunduran.

Baca juga: KSPI Pilih Tak Ikut Demo Hari Ini, Fokus Judicial Review UU Cipta Kerja

Baca juga: Jika Ahok Jadi Presiden Republik Indonesia, Ini Gebrakan Yang Bakal Dilakukannya Nanti

Baca juga: 3 Admin Facebook STM se-Jabodetabek dan @panjang.umur.perlawanan Ditangkap, Polisi Sebut Provokator

"Hal ini terlihat dari dikembalikannya berkas penyelidikan peristiwa Paniai oleh Jaksa Agung kepada Komnas HAM, dinyatakannya deklarasi damai peristiwa Talangsari sebagai maladministrasi oleh Ombudsman, " tutur Fatia.

"Kemudian, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat, serta diangkatnya aktor-aktor pelanggaran HAM berat sebagai pejabat pemerintahan," lanjutnya.

Keseluruhan peristiwa ini menegaskan bahwa isu pelanggaran HAM berat bagi Joko Widodo hanya merupakan komoditas politik tanpa ada niatan untuk benar-benar menyelesaikannya.

Pengunjukrasa yang berasal dari buruh, mahasiswa, dan pelajar terlibat bentrok dengan polisi saat unjuk rasa di sekitar Patung Kuda Jakarta, Kamis (8/10/2020). Mereka menuntut pemerintah untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang dinilai memberatkan pekerja.
Pengunjukrasa yang berasal dari buruh, mahasiswa, dan pelajar terlibat bentrok dengan polisi saat unjuk rasa di sekitar Patung Kuda Jakarta, Kamis (8/10/2020). Mereka menuntut pemerintah untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang dinilai memberatkan pekerja. (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Perluas pengaruh TNI-Polri Lebih lanjut, dalam aspek budaya kekerasan, Kontras menemukan bahwa tingginya angka kekerasan yang muncul setiap tahunnya dari lembaga pertahanan dan keamanan tidak pernah disambut dengan wacana mengenai reformasi kelembagaan untuk mengurangi peristiwa kekerasan.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved