Ternyata Jaga Jarak 2 Meter tak Cukup Untuk Mencegah Penyebaran Covid-19, Ini Alasannya!

Peningkatan kasus Covid-19 di DKI Jakarta menunjukan bahwa protokol kesehatan harus semakin diperketat

Editor: Heri Prihartono
JACK GUEZ/AFP
Demonstran Israel tetap menjaga jarak aman di social distancing dan memakai masker, saat unjuk rasa menuntut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu lengser dari jabatannya. Aksi unjuk rasa dilakukan di Rabin Square pada Minggu (19/4/2020). 

TRIBUNJAMBI.COM - Peningkatan kasus Covid-19 di DKI Jakarta menunjukan bahwa protokol kesehatan harus semakin diperketat.

Disiplin setiap individu menerapkan protokol kesehatan adalah harga mati untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Paling tidak jaga jarak dengan orang lain setidaknya sejauh dua meter telah menjadi bagian dari protokol kesehatan yang diterapkan untuk membatasi penyebaran Covid-19.

Sayangnya, jarak dua meter ini pada kondisi tertentu mungkin tidak selalu cukup untuk menekan penyebaran virus.

Direktur Fluid Dynamics of Disease Transmission Laboratory di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Lydia Bourouiba mengatakan, aturan jaga jarak dua meter sebetulnya merupakan sains yang sudah ketinggalan zaman.

Melalui jurnal tersebut, mereka menjabarkan alasan jaga jarak dua meter belum cukup untuk menurunkan risiko penyebaran virus.

Asal aturan dua meter

Aturan jaga jarak dua meter, atau sekitar enam kaki, berasal dari tahun 1800-an ketika ilmuwan Jerman Carl Flügge menemukan bahwa patogen hadir dalam tetesan besar yang dikeluarkan dari hidung dan mulut.

Sebagian besar tetesan ini jatuh ke tanah dalam jarak satu hingga dua meter dari orang yang terinfeksi.

Pada tahun 1940-an, kemajuan fotografi memungkinkan para peneliti menangkap gambar tetesan ekspirasi yang tersebar ketika seseorang bersin, batuk, atau berbicara.

 

Studi lain pada periode itu menemukan bahwa partikel besar dengan cepat jatuh ke tanah di dekat orang yang mengeluarkannya.

Studi itu memperkuat aturan dua meter, terlepas dari batasan keakuratan studi awal ini.

Studi-studi tersebut cenderung mengelompokkan tetesan ekspirasi menjadi dua kategori, yakni besar dan kecil.

Para ilmuwan mengira tetesan besar akan jatuh dengan cepat ke tanah dan tetesan kecil akan menguap sebelum mereka terbang jauh, kecuali jika didorong oleh aliran udara lain.

Namun, Jesse Capecelatro, PhD, asisten profesor teknik mesin di Universitas Michigan di Ann Arbor, yang tidak terlibat dalam penelitian baru tersebut mengatakan bahwa dalam 90 tahun terakhir, kita sudah belajar banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi ketika kita bicara, batuk atau bersin.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved