Ketika Kopassus Berhadapan dengan Dukun Sakti Simpatisan PKI, Jalan Damai Gagal, Akhirnya Begini

Kisah perburuan Kopassus menutup padepokan Mbah Suro dilakukan tak lama setelah peristiwa genting Gerakan 30 September atau G30 S PKI.

Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
Prajurit Kopassus 

TRIBUNJAMBI.COM - Kisah keberanian pasukan elit Kopassus yang dahulu bernama RPKAD diturunkan untuk mencari keberadaan dari simpatisan PKI yang diebut sebagai dukun sakti, Mbah Suro.

Dukun yang bernama Mbah Suro ini dikenal kebal senjata tajam dan senjata api.

Kisah perburuan Kopassus menutup padepokan Mbah Suro dilakukan tak lama setelah peristiwa genting Gerakan 30 September atau G30 S PKI.

Buntut dari pembunuhan sejumlah jenderal oleh yang orang-orang yang dicap sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI), dilakukan operasi penumpasan PKI secara besar-besaran.

10 Foto Senyum Manis Sherrin Tharia saat di Samping Zumi Zola, Bakal Terulang Lagi?

Tiga Balita di Tanjab Barat Meninggal Akibat DBD, Dinkes Sebut Lambat Dapat Pertolongan

Ketika itu Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sempat menghadapi simpatisan PKI yang dikenal kebal senjata.

Berhadapan dengan orang-orang membuat Kopassus menggunakan cara kekerasan.

Kisah ini dikutip dari buku "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" karya Hendro Subroto.

Berkobarnya tragedi G30S/PKI yang menculik para jenderal pada 30 September 1965, memang berbuntut panjang.

Satu di antaranya adalah perburuan terhadap mereka yang dianggap sebagai anggota maupun simpatisan PKI.

Perburuan, dan penangkapan itu dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia yang diduga sebagai basis PKI.

Ilustrasi Prajurit Kopassus
Ilustrasi Prajurit Kopassus (Instagram @ noer_mancunk_ramadistro)

Siapa sebenarnya Mbah Suro

Saat itu pada 1967, perburuan terhadap simpatisan dan anggota PKI dilakukan di kawasan yang terletak antara Cepu dan Ngawi. Tepatnya, di Desa Ninggil.

Nama asli Mbah Suro adalah Mulyono Surodihadjo.

Mbah Suro merupakan seorang mantan lurah yang dibebastugaskan akibat kesalahannya sendiri.

Setelah lengser sebagai lurah, Mbah Suro membuka praktik sebagai dukun yang mengobati orang sakit.

Namun, belakangan beredar kabar di luar kalau Mbah Suro juga dikenal sebagai dukun kebal, hingga ia disebut sebagai Mbah Suro atau Pendito Gunung Kendheng.

Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti dengan perubahan penampilannya.

Salah satunya adalah memelihara kumis tebal, dan rambut panjang.

Mbah Suro disebut-sebut melakukan berbagai kegiatan yang berbau klenik, dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa.

Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera dan air kekebalan kepada para muridnya.

Banyak pengikutnya yang percaya, diri mereka telah menjadi kebal terhadap senjata tajam, dan senjata api.

VIRAL 2 Kipas Raksasa di Masjid Modern Tertua Batam Diklaim Terbesar dan Pertama di Indonesia

KPU Provinsi Jambi Minta Seluruh Cakada Lakukan Uji Swab Sebelum Pendaftaran, Antisipasi Covid-19

Kirim Kopassus

Pemerintah, khususnya pihak militer melihat Mbah Suro telah ditunggangi oleh PKI.

Menurut Hendro, penutupan itu terpaksa dilakukan melalui jalan kekerasan.

"Pangdam terpaksa memerintahkan agar penutupan dilakukan dengan jalan kekerasan, karena segala upaya jalan damai yang ditempuh telah menemui jalan buntu," tulis Hendro dalam bukunya.

Akhirnya, Kodam VII/ Diponegoro beserta satu Kompi RPKAD (Sekarang Kopassus) di bawah pimpinan Feisal Tanjung menyerbu padepokan Mbah Suro.

Mbah Suro pun berhasil ditaklukkan dalam penyerbuan itu.

4 Tahap Sistematis Tumpas G30S/PKI

Peristiwa kekejaman G30S/PKI meninggalkan coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia

Pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan enam jenderal yang merupakan perwira tertinggi TNI serta satu perwira berjabatan kapten.

Bahkan menteri atau Panglima AD Ahmad Yani tidak luput dari sasaran.

Saat itu, satuan TNI AD mengalami guncangan hebat akibat aksi G30S/PKI.

Para perwira TNI AD ingin melakukan tindakan akibat peristiwa kelam yang telah merenggut jenderal TNI tersebut.

Dikutip dari pernyataan Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966

Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.

CEK Ramalan Zodiak Kesehatan Selasa 25 Agustus 2020: Taurus Perhatikan Tenggorokan, Intip 11 Lainnya

Kronologis Lengkap Guru Ngaji Tularkan Covid-19 Kesembilan Orang

Sumber: Tribun Batam
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved