Jadi Lomba Wajib saat Hari Kemerdekaan, Panjat Pinang Punya Fakta yang Kelam Penjajah vs Rakyat
Lomba atau tradisi panjat pinang merupakan satu di antara perlombaan yang paling ikonik yang diadakan pada perayaan kemerdekaan Indonesia.
TRIBUNJAMBI.COM - Beragam kemeriahan di berbagai daerah di Indonesia dengan mudah kita temui saat tanggal 17 Agustus tiba.
Mulai dari tingkat Rukun Tetangga (RT) hingga nasional, semua memiliki cara masing-masing dalam memperingati hari kemerdekaan Indonesia.
Syukuran hingga lomba-lomba digelar, tak terkecuali lomba panjat pinang yang bahkan kini telah menjadi tradisi.
Lomba atau tradisi panjat pinang merupakan satu di antara perlombaan yang paling ikonik yang diadakan pada perayaan kemerdekaan Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, sekelompok pria harus memanjat batang pohon pinang yang telah diolesi minyak atau oli.

Karena licin, para peserta tentu harus memiliki strategi dan kerja sama yang baik agar bisa menggapai hadiah yang ada di puncak pinang.
Namun, tahukah kamu bahwa ada fakta kelam di balik sejarah tradisi panjat pinang?
Panjat pinang merupakan satu di antara tradisi yang cukup tua dan populer di Indonesia.
• 5 Makna Tahun Baru Islam Bagi Umat Muslim - Mengenang Hijrah Nabi Muhammad SAW-Introspeksi Diri
• Artis Cantik Ini Banting Stir Jadi Pendeta, Lama Tak Terlihat di Layar Kaca, Dulunya Model Terkenal
Perlombaan ini berasal dari masa penjajahan Belanda yang digelar sebagai acara hiburan bagi para kaum kolonial.
Panjat pinang diadakan pada momentum penting seperti hajatan, hari libur nasional atau hari ulang tahun tokoh-tokoh penting Belanda.
Seperti misalnya pada tanggal 31 Agustus yang pada era itu bertepatan dengan ulang tahun sang ratu Belanda, Ratu Wihelmina.
Di Belanda, lomba ini disebut De Klimmast yang berarti panjang tiang.
Caranya, penjajah Belanda memasang batang pohon pinang yang telah dilumuri pelicin secara vertikal dan memasang bermacam-macam hadiah di pucuk tiang tersebut.
Diketahui, pada masa itu, hadiah yang dipasang berupa barang pokok seperti makanan, gula, tepung, dan pakaian.

Hadiah semacam itu, pada masa penjajahan sangat sulit dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang hidup melarat dan tersiksa.